Kamis, 10 Maret 2011

Gerakan Mahasiswa


GENEOLOGI GERAKAN MAHASISWA DALAM ERA TRANSISI GLOBALISASI,
by; mufid Am.
bem center undar


Prawacana: Tantangan Gerakan Mahasiswa
Persoalan idealisme gerakan mahasiswa saat ini masih dihadapkan pada tiga permasalahan besar, pertama, antara upaya membuka ruang demokrasi nasional dengan harapan munculnya gejolak demokrasi arus bawah yang massif, kedua, persoalan perubahan dinamika ekonomi politik global yang bermetamorfosis menjadi kekuatan Neo-liberal yang kuat dan ketiga, dan yang masih krusial, adalah bagaimana mendesain ulang format gerakan yang lebih konstruktif dan terkonsolidasi secara massif.

Strategi Gerakan Mahasiswa
Empat landasan dalam menyusun strategi gerakan mahasiswa, yaitu: Pertama, Ideologi, dasar filosofi gerakan merupakan nilai-nilai yang menjadi landasan pergerakan mahasiswa. Sebuah institusi kemahasiswaan yang mengemban idealisme yang tinggi harus memakai filsafat gerakan pembebasan (liberasi) dan kemandirian (interdependensi). Liberasi adalah sebuah metode alternatif untuk mencapai kebebasan individu, sehingga individu tersebut mempunyai kualitas dan mental yang kuat untuk mendobrak dan menggeser kekuasaan negara yang represif dan totaliter dan melakukan perlawaman atas ekspansi hegemoni negara, untuk mengembalikan kekuasaan tersebut kepada otoritas dan kedaulatan rakyat. Liberasi ini juga memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan berfikir tanpa dipasung oleh sebuah rezim. lnterdependensi adalah kemandirian dalam mengembangkan kreatifitas, keterbukaan, rasa tanggungjawab dalam dinamika pergerakan untuk membangun moralitas dan intelektualitas sebagai senjata dan tameng dalam setiap aksi. Aksi yang diiringi dengan interdependensi akan mewujudkan kesadaran mahasiswa dalam menjaga jarak dan hubungan dengan kekuasaan, sehingga aksi mahasiwa merupakan kekuatan murni untuk membela kepentingan rakyat dan melakukan transformasi sosial tanpa terkooptasi oleh kepentingan politik kelompok manapun.
Kedua, Falsafah Gerakan, strategi ini lebih kepada falsafah bertindak dengan model pendekatan (appoach methode). Dalam pendekatan ini gerakan mahasiswa berupaya mengambil jarak dengan negara tanpa menafikan keberadaan dan legitirnasinya, sehingga kekuatan negara dapat diimbangi oleh kekuatan masyarakat. Model pendekatan ini adalah proses; (a) transformasi dari orientasi massa ke individu, (b) transformasi dari struktur ke kultur, (c) transfornzasi dari elitisme ke populisme, (d) transformasi dari negara ke masyarakat.
Ketiga, Segmenting, strategi ini merupakan pilihan wilayah gerak. Yang harus dipahami bahwa terbentuknya Student Government adalah sebagai upaya taktis untuk melakukan proses transformasi sosial, berangkat dari student movement menuju ke social movement. Transformasi sosial merupakan wahana yang paling kondusif untuk membebaskan kaum tertindas menuju masyarakat mandiri (civil society). Gerakan mahasiswa juga harus mengarah pada advokasi akan hak-hak kaum bawah, sehingga posisi mahasiswa merupakan penyambung lidah dan jerit kaum yang termarginalkan oleh penguasa. Kebijakan pemerintah yang sentralistik tanpa melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik, serta konstalasi politik yang carut marut merupakan lahan garapan mahasiswa baik yang ada di intra parlemen yaitu BEM atau organisasi ektra perlementer atau luar kampus seperti PMII, HMI MPO, HMI DIPO, IMM, KAMMI, FPPI, LMND dan organisasi ekstra parlementer lainnya.
Keempat, Positioning, artinya adalah bahwa lembaga eksekutif tersebut harus meletakkan dasr organisasi sebagai institusi profit atau non-profit. Idealnya menurut hemat penulis bahwa lembaga eksekutif ini yang berada pada jalur intra parlementer lembaga kemahasiswaan ini menggeser paradigrna yang tadinya dari gerakan student movement menjadi social movement. Sehingga aras gerak yang dilakukan lebuih kepada pemberdayaan rakyat keeil yang tertindas dan terhegemoni oleh kekuasaan yang represif.

Idealisme Mahasiswa dan Globalisasi
Gerakan mahasiswa, baik dikomando oleh intra maupun ekstra tidak pernah muncul dalam ruang hampa. Sebuah pergerakan akan tetap muncul dalam fase sejarah apapun. Entah itu fase feodalisme, kolonialisme, kemerdekaan, totalitarianisme, liberalisme, Namun demikian gerakan mahasiswa bukanlah entitas yang seragam.
Ada pandangan bahwa “gerakan” akan muncul sebagai sebuah reaksi spontan walaupun tidak terorganisir dengan jelas. Misalnya gerakan mahasiswa akan muncul jika harga sembako naik, BBM melambung tinggi, atau isu-isu lainnya yang anggap populis. Namun demikian pada hakekatnya sebuah gerakan (movement) merupakan upaya melakukan antitesa dari kondisi status-quo yang konservatif dan tidak memiliki kepekaan akan cita-cita masyarakat yang lebih maju.
Berangkat dari kondisi inilah penulis mencoba memaparkan pandangan tentang hakikat gerakan perubahan yang di dalarnnya terkandung subjek sejarah yaitu gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang di anggap lebih memenuhi harapan. Philip G. Albach dalam bukunya Student in Reovolt, melihat posisi gerakan mahasiswa berada dalam dua level yaitu sebagai proses perubahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik. Sejarah juga banyak mencatat bagaimana gerakan mahasiswa bisa bergerak dalam level sistem politik yang akan meluas pada pengaruh kebudayaan dan sosial.
Hidup di negara berkembang seperti Indonesia kita memiliki banyak referensi tentang gerakan mahasiswa baik perkembangan waktu, berbagai perubahan ideologi maupun strategi dan taktiknya. Seeara historis tulisan ini akan melacak mengapa gerakan mahasiswa dibutuhkan dalam konteks perkembangan masyarakat negara Dunia Ketiga.

Legitimasi Sejarah Gerakan Mahasiswa
Mari kita lacak latar belakang mengapa gerakan mahasiswa banyak muncul di negara berkembang. Pertama, modernisme dalam banyak bidang ekonomi politik, terutama dalam rangkaian dengan kekuasaan, oleh kekuatan dan dominasi ekonomi politik negara-negara Utara terhadap negara-negara Selatan, menyebabkan terjadinya transformasi sosial dalam bentuk kolonialisme, imperialisme sampai neo-liberalisme yang terjadi hingga sekarang ini. Fakta akan adanya dominasi dan kesenjangan kelas semakin kentara dan tidak bisa di tutup-tutupi. Ini yang menjadi latar belakang utama kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang banyak didominasi kelompok muda intelektual yaitu mahasiswa. Dalam banyak hal keterlibatan gerakan mahasiswa dalam gerakan-gerakan terutama gerakan politik banyak mendapat pengaruh dari kondisi domestik maupun global. Namun hal yang cukup menjadi dorongan utama adalah kondisi politik dalam negeri. MisaInya saja kediktatoran pemerintaham militer Soeharto atau kediktatoran rezim yang sarna di Amerika Latin menjadi pemicu awal dari tumbuhnya gerakan-gerakan demokratik mahasiswa.
Kedua, di Indonesia Gerakan Mahasiswa mendapat suatu legitimasi sejarah atas keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak berdirinya negara menjadi bagian yang di akui dari sistem politik. Jika kita telusuri, misaInya, perjuangan kemerdekaan Nasional yang didorong Soekarno Cs lewat kelompok-kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesianya, temyata efektif dan mampu secara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin lepas dari belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya di sebut “pemuda pelajar” ini menjadi semacam “martir kelompok terdidik” yang membawa angin perubahan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat akan kemerdekaan.
Ketiga, kekurangan lembaga dan struktur politik yang mapan. Akibat dari itu adalah relatif mudahnya bagi setiap kelompok yang terorganisir untuk mempunyai dampak langsung tehadap politik. Eksistensi politik gerakan mahasiswa muncul ketika kebutuhan tersebut hadir. Apalagi di barisan bawah gerakan¬gerakan yang disponsori rakyat belum terakomodasi menjadi kekuatan perubahan yang signifikan. Gerakan mahasiswa mulai membentuk suatu elit, sehingga merasa berperan dalam kemungkinan terjadinya transformasi sosial yang Iebih luas. Akses informasi tentang situasi perpolitikan memungkinkan banyak telaah untuk pembuktian bahwa proses regimentasi politik totaliter harus mendapat tanggapan yang serius dan diterjemahkan dalam bentuk gerakan-gerakan yang lehih konkrit. Banyak di antara universitas yang berada di perkotaan yang sebagian besar populasi mahasiswa berada dalam jarak jangkauan yang mudah terhadap pusat kekuasaan. Ini memungkinkan gerakan mahasiswa mudah melakukan sebuah aksi untuk memblow-up isu yang potensial dalam upaya pemobilisasian kesadaran massa yang lebih maju.
Beberapa fenomena politik mahasiswa menjadi makin membesar karena ia di lakukan di tempat-tempat yang relatif mudah di jangkau media. Peristiwa 1965, 1974, sampai peristiwa mei 98 menjadi semaeam pilot project radikalisme mahasiswa yang bergerak di lini oposisi pemerintahan. Gerakan mahasiswa kemudian mencuat menjadi semacam gerakan-gerakan ujung tombak (avant garde), dan eksistensinya semakin menjadi jelas ketika di dalam percaturan politik di tingkatan negara dan massa akar rumput (grass roots), merasa kekurangan oposisi dari sistem politik rezim parlementarian atau sentralisme. Sehingga gerakan mahasiswa seringkali menjadi “cabang keempat” dari sistem pemerintahan.
Berbagai faktor seperti situasi ekonomi politik yang memprihatinkan kehidupan umum, ketidakadilan sosial, kebijaksanaan luar negeri pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, politik yang telah menjadi tidak demokratis, dari semua faktor tersebut, mahasiswa kemudian membuat jalinan ideologis yang dalamjangka waktu panjang akan menimbulkan gerakan transformasi sosial. Beberapa dekade terakhir gerakan mahasiswa meneoba untuk membedkan tawaran yang lebih jauh mengenai hubungannya dengan realitas rakyat yang menderita akibat perlakuan rezim. Pasea diberlakukan NKK/ BKK di semua perguruan tinggi, gerakan mahasiswa yang memilih untuk tetap menjaga jarak dengan kekuasaan langsung bersentuhan dengan kegiatan advokasi permasalahan rakyat. Kasus Badega, Kedung Ombo, Rancamaya,  menjadi saksi kegigihan gerakan mahasiswa yang tidak lagi mengemukakan ekspresi teoritik dalam diskusi-diskusi tapi langsung bergerak dalam level praksis. Sampai dengan tahun 1998 klimaks gerakan mahasiswa terjadi dan dalam skala luas memperoleh dukungan luas dari rakyat.

Melacak Idealisme Gerakan Mahasiswa
Realitas politik memang mengatakan independensi perguruan tinggi yang notabene adalah basis pendidikan nasional, sehingga banyak harapan akan adanya pemikiran-pemikiran baru tentang ke-Indonesiaan yang dihasilkan dari institusi ini. Selain civitas akademika yang merepresentasikan kelompok intelektual, mahasiswa juga diharapkan mampu memberikan gagasan dan ide-ide ke-Indonesiaan, dengan beragam aktualisasi. Selain sebagai kelompok intelektual, ternyata dinamika perpolitikan negara juga cukup signifikan untuk mengerakkan mahasiswa menjadi satu kekuatan gerakan ekstra parlementer sebagai salah satu pilihan aktualisasinya.  Melalui peran ini, mahasiswa tentunya ingin mengartikulasikan kepentingan-kepentingan dan aspirasi politiknya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan di tingkat nasional, yang kesemuanya itu dibingkai dalam kerangka menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat dan atas nama demokrasi, yang mencoba untuk berbareng bergerak bersama rakyat, sehingga akan menjadi satu gerakan people power yang masiff dan progresif.
Cita-cita luhur para mahasiswa Indonesia, ternyata hanya menjadi utopi, karena gerakan mahasiswa Indonesia hanya menjadi alat dari kelompok-kelompok kepentingan yang mengatasnamakan rakyat. Hal ini tentunya didasari pada beberapa fakta dari proses sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia.
Pertama, gerakan mahasiswa tahun 1945-1966, mahasiswa bangkit karena melihat kondisi negara yang sedang mengalami kegoncangan sistem politik nasional yang selalu mengalami perubahan bentuk pemerintahan, mulai dari RIS, Demokrasi Terpimpin dan kembali lagi ke Republik, yang disebabkan oleh lemahnya posisi negara atas rakyatnya. Sebagaiman ditulis Fachri Aly “Kondisi ini diperlihatkan dengan gejala kemiskinan massal di perkotaan ataupun di daerah pedesaan, hancurnya sarana dan prasarana ekonomi sehingga menyebabkan kehancuran ekonomi dan tingginya tingkat utang serta rusaknya atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana transportasi, komunikasi dan modernisasi” (Fachry Ali : 1985).
Kekuatan mahasiswa memang mampu mengulingkan kekuasaan Presiden Soekarno tahun 1966, tapi perlu diingat bahwa kekuatan mahasiswa tidak muncul dengan sendirinya, Badan Kerja Sama Pemuda Militer yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi politik ABRI, yang waktu itu  itu mulai menunjukkan sifat kohesinya yang kuat dalam kehidupan politik, sebagai respon atas pertentangan ideologi, sehingga melirik mahasiswa sebagai kelompok independen untuk menjadi mitra. Hasil perjuangan mahasiswa telah mampu menaikkan Jenderal Soeharto untuk menduduki kursi RI-1, justru mahasiswa yang kritis atas situasi perpolitikan negara harus berhadapan dengan strategi de-politisasi oleh pemerintah berkuasa, karena Presiden Soeharto lebih tertarik untuk berkoalisi dengan intelektual dan tekhnokrat murni yang selama ini tidak pernah concern dengan persoalan politik.
Kedua, gerakan mahasiswa tahun 1974/1975, juga sempat terprofokasi oleh isu-isu anti Jepang sehingga pada tanggal 15 Januari 1975 yang kemudian di kenal dengan Malari, terjadi pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia, padahal ini tidak lebih akibat dari pertarungan untuk memperebutkan pasar antara AS dan Jepang. Gerakan yang kemudian dijawab oleh pemerintah dengan dikeluarkannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Ketiga, gerakan Mahasiswa tahun 1998-pun tidak jauh beda. Mahasiswa terprovokasi oleh isu-isu yang di buat oleh pihak luar, meskipun gelombang aksi terjadi di seluruh penjuru Indonesia, tetapi yang lebih signifikan untuk mendorong pemerintah Soeharto mundur adalah fluktuatifnya kurs rupiah atas dollar AS dan berhentinya pasar modal dalam negeri, sebagai respon atas kekuasaan Soeharto berlebihan yang hanya berorientasi membangun istana ekonomi keluarga dan kroni, sehingga menutup peluang investasi pengusaha-pengusaha asing khususnya AS dan mengamcam kepentinagn internasional AS. Situasi pemerintahan yang seperti ini, sehingga memunculkan isu-isu populis yang kemudian terkenal dengan 6 visi reformasi (Adili Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Hapus KKN, Tegakkan Supremasi Hukum, Otonomi Daerah dan Amandemen UUD`1945)  yang entah dari mana datangnya, namun tiba-tiba mengema dan menjadi simbul perlawanan yang disuarakan oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Momentum gerakan mahasiswa yang kemudian dimanfaatkan oleh elit tertentu. ”Gerakan reformasi ini telah dimanipulasi para elit politik, baik elit politik yang lama maupun yang baru, yang masih berambisi meraih kekuasaan bagi diri dan kelompoknya dengan cara saling kompromi diantaranya lewat pemilu yang dilaksanakan tahun 1999” (Meluruskan Arah Perjuangan Reformasi Dan Merajut kembali Merah-Putih Yang Terkoyak : Iluni UI). Akankah kita para mahasiswa sekarang kembali akan menjadi alat dan terprovokasi dengan isu-isu populis tertentu yang ternyata hanya menguntungkan kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan riil masyarakat ?

Gerakan Moral Mahasiswa
Terlepas dari sejarah panjang perjalanan gerakan mahasiswa di Indonesia, kekuatan mahasiswa hanya mampu menjadi kelompok preasure group yang ternyata di dorong oleh kepentingan kelompok tertentu. Pada sisi lain mahasiswa tidak mampu memberikan satu rumusan konseptual dan solusi atas berbagai problematika transisi. Kegagalan-kegagalan yang tetap harus kita akui sebagai bentuk kelemahan kita bersama, yang salah satunya disebabkan keterjebakan kita dalam stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral.
Sejarah panjang mengenai peran gerakan mahasiswa di Indonesia, memang telah mengoreskan tinta sejarah dengan menyebut gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral. Hal ini tentunya dilatar belakangi dengan keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan rezim Soekarno tahun 1966, Soeharto tahun 1998 dan Gus Dur tahun 2001, yang konon katanya digerakkan oleh berhentainya proses demokratisasi, penegakan HAM, tidak berjalannya supremasi sipil dan  supremasi hukum serta lain-lainnya. Latar belakang inilah yang kemudian cukup signifikan mempengaruhi kemunculan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral yang katanya akan selalu menyuarakan kepentingan rakyat banyak dengan idiom-idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil dan lain-lain.
Meminjam istilah Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemuda, mengenai peran pemuda yang sangat besar dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Dimana dalam peran ini mahasiswa menjadi bagian didalamnya. Selain itu adanya pepatah Arab yang berbunyi “Syubhanul yaum rijaalul ghoddi (Pemuda Sekarang Adalah pemimpin masa depan)”.  Kedua hal tersebut di atas paling tidak menjadi landasan epistimologi yang akan semakin menguatkan stigma gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, sebagaimana kuatnya memori kolektif masyarakat yang menyebut bahwa pemuda Indonesia pada tahun 1908 telah mempunyai andil yang cukup besar terhadap bangsa Indonesia dengan keberahasilannya melaksanakan sumpah pemuda,  dimana masyarakat tidak pernah paham mengenai kenyataan empiris tentang kondisi dan situasi sosial-politik dan ekonomi dalam negeri serta tren politik global pada waktu itu.
Budiaman Sudjatmiko pada tahun 2000 dalam tulisannya Demoralisasi Gerakan Mahasiswa menyebutkan bahwa yang disebut dengan demoralisasi gerakan mahasiswa diartikannya dengan surutnya atau tidak adanya kekompakkan berbagai elemen gerakan mahasiswa  pada waktu itu dalam merespon isu-isu yang berkembang saat itu, yang menarik pengertian dari pemengalan kata demoralisasi, dengan mengartikan bahwa de- yang artinya tidak atau mengecil dan moral yang diartikan respon mahasiswa yang mengunakan idiom-idiom demokratisasi, HAM, supremasi hukum dan lain-lain.
Gerakan mahasiswa tidak pernah menggunakan gerakan moral sebagai pilihan bentuk aktualisasinya, tetapi yang dilakukannya adalah gerakan politik. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa alasan, pertama, gerakan mahasiswa dalam orientasinya yang ingin melakukan perubahan, selalu mengunakan ukuran perubahan struktur atau lebih spesifik perubahan kebijakan sebagai ukuran keberhasilannya. Fenomena  tentang perubahan struktur atau perubahan kebijakan yang terjadi di Indonesia selalu dihasilkan dari proses gerakan politik bukan gerakan moral. Kedua, stigma gerakan moral tidak lain adalah bentuk justifikasi dari kebenaran akademis yang kelahirannya  dilatar belakangi karena independensi perguruan tinggi, yang  berimplikasi pada cara pandang bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang masih murni dan independen   yang sangat jauh dari kepentingan pragmatis dan kepentingan politik tertentu. Padahal realitas empiriknya gerakan mahasiswa banyak mendapatkan donor dari partai politik, pemerintah, founding internasional dan lain-lain. Ketiga, gerakan mahasiswa yang mengklaim dirinya menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengunakan idiom demokrasi, HAM, supremasi sipil, supremasi hukum dan yang lainnya, telah menjadikan idiom-idiom tersebut sebagai standar moral gerakan. Standar moral yang cenderung dikotomis karena pada realitasnya, moral kemudian kemudian menjadi alat untuk mengukuhkan eksistensi gerakan mahasiswa dan menyerang lawan (baca: negara) yang pada sisi lain negara yang dalam perwujudannya sebagai bentuk dari konsep trias politika (eksekuti, legeslatif dan yudikatif) juga mengunakan idiom yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya, tetapi kemudian mengapa gerakan structural negara dalam kontes yang sama tidak disebut sebagai gerakan moral tetapi lebih cenderung disebut gerakan politik yang identik dengan relasi kuasa. Keempat, moral dalam gerakan mahasiswa sebenarnya hanya menyetuh pada aspek psikologi, emosional dan romantisme, bukan moral yang menjadi élan dan subtansi dari gerakan, karena kebangkitan gerakan mahasiswa lebih signifikan dipengaruhi faktror eksternal yang lebih massif. Contohnya adalah terbentuknya Badan Kerja Sama Pemuda-Militer (BKSPM) yang terbentuk tahun 1957, adalah bentuk infiltrasi politik ABRI. dan gerakan mahasiswa tahun 1974/1975 yang melakukan pembakaran produk-produk Jepang di Indonesia,  yang terkenal dengan Malari, sebenarnya hanyalah akibat dari pertarungan antara AS dan Jepang untuk memperebutkan pasar di Indonesia.
Untuk itu, refleksi bersama atas internal gerakan mahasiswa yang katanya sebagai tulang punggung masa depan bangsa harus segera mungkin dilakukan. Keberadaan moral dalam gerakan mahasiswa tidak lain adalah bentuk pelarian dari individu seorang mahasiswa yang tidak mampu membebaskan diri dari belenggu moral dalam konteks pribadi, yang kemudian membawanya dalam komunitas gerakan mahasiswa. Tidak bebasnya belenggu disini meliputi, Pertama, belenggu moral dalam prespektif teologis yang mengikat relasi manusia dengan Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan kewajiban sebagai seorang hamba-Nya  dimana terdapat penilaian atas perilaku individu yang kemudian disebut dengan dosa atau tidak dosa dan halal atau haram. Kedua, belenggu dalam perspektif norma yang mengikat hubungan antar individu dan masyarakat,  dimana terdapat penilaian masyarakat terhadap perilaku individu yang kemudian disebut bermoral atau amoral karena perilakunya yang keluar dari batasan-batasan norma, etika dan adat yang berlaku di masyarakat.
Dari penjelasan di atas, maka moral sebenarnya adalah sistem nilai yang berlaku universal bagi individu bukan komunitas (baca gerakan) dan  menjadi alat mekanisme kontrol atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar