goverment


MAKALAH REFORMASI
BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar belakang
            Berdasarkan perang dunia II kita melihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Salah satunya adalah negara Indonesia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1949 maka “ mungkin yang pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua system organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung – pendukung yang berpengaruh”.
            Pada dasarnya demokrasi ada berbagai macam, sedangkan negara indonesia menganut demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional adalah bahwa pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindang sewenang – wenang terhadap warganya. Dengan pembatasan kekuasaan pemerintah tercantum pada konstitusi; maka dari itu sering disebut “ pemerintah berdasaarkan konstitusi”. (constitudional government). Jadi constitusional government sama dengan limited government atau restrained government.
            Perkembangan demokrasi konstitusional pada abad 19 dengan Negara Hukum Klasik menuju reformasi demokrasi konstitusional pada abad 20 dengan Rule Of Low yang Dinamis.  Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang – surutnya. Dengan berbagai masalah pokok yang dihadapi ialah bagian dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya. Pada dasarnya masalah ini berkisar pada menyusun system politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat supaya menghindarkan timbulnya diktatur, apakah diktatur itu bersifat perorangan, partai atau militer.
            Dalam pandangan para pengamat, reformasi perlu dilakukan karena kekeliruan – kekeliruan yang telah dilakukan mantan presiden Soeharto. Dalam kasus lain Indonesia semakin terpuruk dengan adanya KKN yang semakin meluas.
B.           Rumusan Masalah
Dalam makalah ini rumusan masalahnya adalah untuk mengetahui Reformasi Aparatur Negara Untuk Melaksanakan Pemerintahan Demokratis Dan Ekonomi Global Era Sekarang ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.          Reformasi Aparatur Negara
Profesor Gerald Caiden, salah seorang pelopor studi Reformasi Administrasi dalam buku “Administrative Reform Comes of Age” terbitan tahun 1991, mengungkapkan ironi yang terjadi di banyak negara, negara maju mau pun negara berkembang, bahwa “... reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi administrasi...” Barulah setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat buruk pemerintah menyadari perlunya reformasi administrasi. Karena itu Prof Caiden mengingatkan “By the time it was realized that defective administrative system were a serious obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and hihger priority should be to putting them right, theprevailing gales were fast blowing into huricanes.
Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memberikan perhatian besar pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu, tetapi kedalaman dan keluasan reformasi aparatur negara belum menyentuh bagianbagian yang paling mendasar dalam sistem administrasi.
Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk menciptakan system administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan globalisasi perdagangan tidak bisa tidak harus bersifat komprehensif dan mencakup, antara lain, penetapan peraturan dasar tentang sistem pemerintahan negara yang sesuai dengan kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah khususnya peningkatan birokrasi pemerintahan khususnya sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya pembera-ntasan korupsi. Dalam waktu yang singkat ini tidak mungkin seaya menyentuh semua dimensi reformasi aparatur negara tersebut. Presentasi saya ini akan lebih menfokuskan diri pada reformasi birokrasi, dan secara lebih khusus reformasi sistem kepegawaian.

B.           Peraturan dasar tentang pemerintahan negara
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden Abdurahman Wachid. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabaran karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak terencana, seperti mengadakan 5 jabatan Sekretaris yang setingkat pada Sekretariat Negara, resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah daerah, adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para menteri dari kalangan profesional yang memepunyai reputasi tinggi dibawah pimpinan Presiden Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena kepercayaan rakyat mulai menguat kembali.
Sayangnya, pada pemerintahan KIB kinerja pemerintah muncul kembali karena didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan faktor penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang memberikan landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang memiliki kapasitas tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.
Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja KIB yang dilakukan oleh berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada berbagai fora, dan saya rasa penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambara tentang pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor kedua yang sebenarnya merupakan akar permasalahan atas rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara mendasar sistem pemerintahan negara menjadi sistem presidensial, padahal oleh para founding fathers sistem tersebut dipandang kurang “adekuat” sebagai sistem pemerintahan Negara Bangsa4 yang berlandaskan faham Kekeluargaan5 untuk menciptakan keadilan sosial6.
Kalau kita ikuti pembahasan pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945 waktu menyusun sistem pemerintahan untuk negara Republik Indonesia, dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 18 – 20 Agustus 1945, sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun “hilang”, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara Bangsa Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK yang mewakili Yogyakarta, disebut “sistem sendiri”. Dalam literatur ilmu politik sistem
pemerintahan tersebut ditahbiskan pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem pemerintahan semi-presidensia. Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan system parlementer yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, karena yang memegang portofolio penting dalam eksekutif adalah anggota legislatif, sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-balance yang merupakan persyarakat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Para penyusun konstitusi tidak memilih sistem presidensial karena memperkirakan pada system tersebut terbuka lebar peluang terjadinya “political gridlocks” apabila presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga legislatif adalah partai mayoritas. Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan legislatif pada tahun pertama pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh fenomena kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para pendahulu kita. Political gridlock itulah yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem parlementer semu Presiden bukan saja menghadapi kendala dari DPR, tetapi juga karena para menteri dalam kabinetnya lebih loyal kepada politik partai masing-masing.
Selain selalu harus mengahdapi ancaman instabilitas politik, Pemerintah KIB yang terdiri atas Presiden yang berasal dari partai minoritas dan Wakil Presiden yang seorang Ketua Umum salah satu Partai mayoritas, masih harus menghadapi “tekanan” masyarakat internasional yang sedang mengalami pergeseran pandangan tentang misi dan sistem pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang.
Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui buku mereka “Reinventing Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku berjudul provokatif “Banishing Bureaucracy: the Five Stages of Reinventing Government” (1998), berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga multilateral mau pun bilateral dengan cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya bagian dari paket program pengembangan good governance, yang secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean government. Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembagalembaga internasional di Indonesia – khususnya privatisasi dan debirokratisasi – juga tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan Pemerintah Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil, tidak mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata 47.7 persen. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai, Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia mendapat desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Dari perbandingan tersebit kita dapat simpulkan bahwa arah kebijakan reformasi kelembagaan atau reformasi aparatur negara di negara-negara maju yang tujuannya adalah memperkecil peranan negara dalam pembanguan ekonomi memang tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Kalau arah kebijakan seperti itu tetap dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap Indonesia, maka dapat dipastikan entrofi pemerintahan akan semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi negara yang gagal yang tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas untuk mencapai cita-cita bangsa.

C.          Reformasi Birokrasi
            Secara harfiyah reformasi adalah berasal dari bahasa latin (Re) kembali Formare bearti membentuk. Sehingga reformasi dapat didefinisikan sebagai “usaha untuk membentuk kembali”. Reformasi politik yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan yang besar pada penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya sistem pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah sistem kepegawaian meritokratik.
Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawai Negara yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara karena dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent civil service commission, yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih mampu menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian meritokratik.
Sebagai salah seorang penyusun yang terlibat langsung dalam penyusunan UU No. 43 tahun 1999, saya dapat bercerita sedikit tentang kerangka pemikiran yang mendasari pengusulan Komisi Kepegawaian tersebut. Sekitar tahun 1998-1999 para perumus memperkirakan setelah Pemilu 1999 akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian Indonesia. Jumlah partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastic dan mencapai lebih dari 100 partai, system pemerintahan akan mengalami perubahan yang sangat fundamental, dari system dominasi satu partai yang relatif stabil menjadi sistem multi-partai yang relatif kurang stabil. Seiiring dengan perubahan sistem pemerintahan, pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang sangat mendasar pada hubungan pusat dan daerah.
Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem kepegawaian yang lebih terstandardisasi, lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralistis dalam implementasinya. Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas yang baru ini sebagian besar beban operasional kepegawaian harus didelegasikan kepada instansi operasional, baik departemen, lembaga non departemen mau pun pemeriantah daerah. Otoritas kepegawaian nasional seharusnya lebih memusatkan pada perumusan standar dan norma kepegawaian nasional, mengawasi pelaksanaan dari norma dan standar nasional kepegawaian, termasuk menyusun kebijakan penggajian, kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan lebih bersifat regulating daripada implementing.
Otoritas kepegawaian untuk melaksanakan fungsi dan tugas regulasi tersebut tidak akan berjalan baik dalam wadah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang konvensional, yang dipimpin oleh seorang kepala seperti yang kita kenal. Pada suatu sistem pemerintahan yang demokratis, otoritas kepegawaian sebaiknya dilaksanakan oleh LPND yang dipimpin oleh Komisi (Commission). Dalam text-book administrasi, struktur seperti itu disebut multi-headed board.
Sebenarnya di dalam sistem pemerintahan Indonesia bentuk semacam itu sudah mulai
dikenal, misalnya, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), Komisi HAM, dan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam pemerintahan. Demikianlah lebih kurang kerangka fikir para perumus pada waktu mengusulkan Komisi Kepegawaian. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural adjustment dalam
bidang kepegawaian.
Kalau Pemerintah Indonesia dapat menerima usulan dari para peserta Diklatpim-LAN tentang kelembagaan untuk menjalankan fungsi reformasi administrasi dan kepegawaian, ada dua pertanyaan terkait yang perlu dicari jawabannya. Yang pertama, perlukan Komisi independen tersebut dipimpin langsung oleh Presiden? Yang kedua, apakah kementerian merupakan format organisasi yang tepat untuk menjalankan fungsi koordinatif reformasi administrasi dan kepegawaian? Menurut penulis, Komisi Kepegawaian atau Civil Service Commission yang terdiri dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden, tak perlu khawatir dengan bentuk komisi independen.
Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
D.          Pemberantasan KKN
            Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian terpenting reformasi tata pemrintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi independen, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, komisi independen dan lembaga judikatif mungkin dapat menjadi penunjuk betapa serius pemerintah berusaha memberantas korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini dilingkungan masyarakat internasional.
Namun, walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukup komprensif telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan pengawasan masyarakat (community corruption watch), dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan tindak korupsi, harus difahami bahwa kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pemberantasan tindak korupsi perlu waktu. Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem hukum, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem administrasi yang tidak memungkinkan terjadinya praktek korupsi.
Gerakan pemberantan KKN yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada tahun pertama ini memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang sebelumnya hampir padam. Namun sayangnya gebrakan-gebrakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang relatif kecil dan bahkan dapat dipandang sebagai kasus “membakar rumah untuk menangkap tikus”, seperti yang terjadi pada kasus KPU, penangkapan para anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat, Gubernur suatu propinsi di Sumatra, beberapa unsure pimpinan bank BUMN, dan kasus DAU. Memang semua pelaku penyimpangan tersebut perlu ditindak, tetapi seharusnya pemerintah seharusnya lebih mempriritaskan penindakan terhadap para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran.
Yang lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat praktek korupsi.

E.           Langkah maju reformasi birokrasi   
            Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta system ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
Karena itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan system ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong royong atau kekeluargaan – seharusnhya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem tersebut.
Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah selama ini, terutama selama 1 tahun Pemerintahan KIB belum menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan. Akibatnya, reformasi kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semkian adekuat untuk melaksanakan pemerintahan buat mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi barutimbul yaitu ancama entrofi pemerntahan nampak semakin nyata dan semakin mengancam kelangsungan pemerintahan KIB.
Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu dilakukan overhaul besar-besar pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian baru termasuk penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih rasional, serta penerapan aplikasi tekonologi informasi modern dalam manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Untuk mencapai kesejahteraan bangsa dan negara, serta pembebasan bangsa terhadap budaya KKN maka pasti tidak luput dari reformasi dalam system tata pemerintahan. Dalam hal ini system tata pemerintahan Indonesia masih begitu lemah atau masih banyak kekurangan. Sebagaimana pendapat Hungtinton “
1.      Kurangnya keberhasilan reformasi Indonesia karena tiadanya talenta politik yang mendukungnya, para tokoh reformis berada dalam area terpecah belah. Diantaranya para mahasiswa yang menjadi tulang punggung reformasi, dan juga para tokoh pada saat itu Gus Dur, Megawati, dan Amin rais. Tetapi mereka kalah dalam pemilu tahun 2004.
2.      Ketiadaan strategi yang digunakan dalam melakukan reformasi.
             

B.     Saran
Dengan adanya system demokrasi di era reformasi di Indonesia diharapkan mampu menjadikan alat sebagai  untuk menata kembali tatanan pemerintah yang adil dan merata sehingga terciptanya bangsa yang berkembang dan maju.
Mahasiswa sebagai tulang punggung reformasi diharapkan komitmen dan selalu terus memantau perkembangan para tokoh kita yang ada diparlemen. Sehingga mahasiswa bisa menjadi power control keseimbangan tata pemerintahan dinegara Indonesia.












DAFTAR PUSTAKA
Mirian budiarjo,dkk. 2004. dasar – dasar ilmu politik. Jakarta : Gramedia Pustaka.
Budi Winarno. 2007. System politik Indonesia era reformasi. Yogja : Buku Kita.
Ananda Koesoema, 2004. Sejarah Lahirnya UUD 1945. Monograf, Pusat Studi Hukum
Ketatanegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarkat Madani “Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani”. Jakarta, 1998.
www.reformasi aparatur negara.org.