MAKALAH REFORMASI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Berdasarkan
perang dunia II kita melihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan
dasar dari kebanyakan negara di dunia. Salah satunya adalah negara Indonesia.
Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1949 maka
“ mungkin yang pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama
yang paling baik dan wajar untuk semua system organisasi politik dan sosial
yang diperjuangkan oleh pendukung – pendukung yang berpengaruh”.
Pada dasarnya demokrasi ada berbagai
macam, sedangkan negara indonesia menganut demokrasi konstitusional. Demokrasi
konstitusional adalah bahwa pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindang sewenang – wenang terhadap warganya. Dengan pembatasan kekuasaan
pemerintah tercantum pada konstitusi; maka dari itu sering disebut “ pemerintah
berdasaarkan konstitusi”. (constitudional government). Jadi constitusional
government sama dengan limited government atau restrained government.
Perkembangan demokrasi
konstitusional pada abad 19 dengan Negara
Hukum Klasik menuju reformasi demokrasi konstitusional pada abad 20 dengan Rule Of Low yang Dinamis. Perkembangan demokrasi di Indonesia telah
mengalami pasang – surutnya. Dengan berbagai masalah pokok yang dihadapi ialah
bagian dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya. Pada dasarnya masalah
ini berkisar pada menyusun system politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk
melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi
rakyat supaya menghindarkan timbulnya diktatur, apakah diktatur itu bersifat
perorangan, partai atau militer.
Dalam pandangan para pengamat,
reformasi perlu dilakukan karena kekeliruan – kekeliruan yang telah dilakukan
mantan presiden Soeharto. Dalam kasus lain Indonesia semakin terpuruk dengan
adanya KKN yang semakin meluas.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini rumusan masalahnya adalah untuk mengetahui Reformasi Aparatur Negara Untuk Melaksanakan
Pemerintahan Demokratis Dan Ekonomi Global Era Sekarang ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Reformasi
Aparatur Negara
Profesor Gerald Caiden, salah seorang pelopor studi Reformasi
Administrasi dalam buku “Administrative Reform Comes of Age” terbitan
tahun 1991, mengungkapkan ironi yang terjadi di banyak negara, negara maju mau
pun negara berkembang, bahwa “... reformasi sistem administrasi tidak pernah
mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut
tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan
perhatian yang cukup memadai pada reformasi administrasi...” Barulah
setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat buruk pemerintah menyadari
perlunya reformasi administrasi. Karena itu Prof Caiden mengingatkan “By the
time it was realized that defective administrative system were a serious
obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and hihger
priority should be to putting them right, theprevailing gales were fast blowing
into huricanes.”
Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memberikan
perhatian besar pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde Baru,
Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan terakhir dalam
Pemerintahan Indonesia Bersatu, tetapi kedalaman dan keluasan reformasi
aparatur negara belum menyentuh bagianbagian yang paling mendasar dalam sistem
administrasi.
Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk menciptakan system
administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan
globalisasi perdagangan tidak bisa tidak harus bersifat komprehensif dan
mencakup, antara lain, penetapan peraturan dasar tentang sistem pemerintahan
negara yang sesuai dengan kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan
birokrasi pemerintah khususnya peningkatan birokrasi pemerintahan khususnya
sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya pembera-ntasan
korupsi. Dalam waktu yang singkat ini tidak mungkin seaya menyentuh semua
dimensi reformasi aparatur negara tersebut. Presentasi saya ini akan lebih
menfokuskan diri pada reformasi birokrasi, dan secara lebih khusus reformasi
sistem kepegawaian.
B.
Peraturan
dasar tentang pemerintahan negara
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada
Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden Abdurahman
Wachid. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabaran karena kebiasaan
mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak terencana,
seperti mengadakan 5 jabatan Sekretaris yang setingkat pada Sekretariat Negara,
resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan intervensi Presiden dalam
penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah daerah, adalah faktor
utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi tersebut. Pada pemerintahan
Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para menteri dari kalangan profesional
yang memepunyai reputasi tinggi dibawah pimpinan Presiden Megawati, entrofi
pemerintahan mulai menghilang karena kepercayaan rakyat mulai menguat kembali.
Sayangnya, pada pemerintahan KIB kinerja pemerintah muncul kembali
karena didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, rendahnya kepercayaan
masyarakat pada kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan
faktor penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang memberikan
landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang memiliki kapasitas
tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.
Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja KIB yang dilakukan oleh
berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada berbagai fora,
dan saya rasa penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambara tentang
pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor kedua yang sebenarnya merupakan akar permasalahan atas
rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen sebanyak 4
kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan pemerintahan
parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara mendasar sistem
pemerintahan negara menjadi sistem presidensial, padahal oleh para founding fathers
sistem tersebut dipandang kurang “adekuat” sebagai sistem pemerintahan Negara
Bangsa4 yang berlandaskan faham Kekeluargaan5 untuk menciptakan keadilan sosial6.
Kalau kita ikuti pembahasan pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan
Juli sampai 15 Agustus, 1945 waktu menyusun sistem pemerintahan untuk negara
Republik Indonesia, dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 18 – 20 Agustus
1945, sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun
“hilang”, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara Bangsa
Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK yang mewakili
Yogyakarta, disebut “sistem sendiri”. Dalam literatur ilmu politik
sistem
pemerintahan tersebut ditahbiskan pertama kali oleh ilmuwan politik
Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem pemerintahan semi-presidensia. Sistem
pemerintahan tersebut dipilih karena dipandang akan mampu mengatasi
kelemahan-kelemahan system parlementer yang dipandang tidak mengenal pemisahan
antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, karena yang memegang portofolio
penting dalam eksekutif adalah anggota legislatif, sehingga tidak menjamin
tumbuhnya check-and-balance yang merupakan persyarakat penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Para penyusun konstitusi tidak memilih
sistem presidensial karena memperkirakan pada system tersebut terbuka lebar
peluang terjadinya “political gridlocks” apabila presiden terpilih berasal dari
partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga legislatif adalah partai
mayoritas. Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan legislatif pada
tahun pertama pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh fenomena
kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para pendahulu kita. Political
gridlock itulah yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem
parlementer semu Presiden bukan saja menghadapi kendala dari DPR, tetapi juga
karena para menteri dalam kabinetnya lebih loyal kepada politik partai
masing-masing.
Selain selalu harus mengahdapi ancaman instabilitas politik,
Pemerintah KIB yang terdiri atas Presiden yang berasal dari partai minoritas
dan Wakil Presiden yang seorang Ketua Umum salah satu Partai mayoritas, masih
harus menghadapi “tekanan” masyarakat internasional yang sedang mengalami
pergeseran pandangan tentang misi dan sistem pemerintah dalam pembangunan
negara-negara berkembang.
Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui buku
mereka “Reinventing Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku
berjudul provokatif “Banishing Bureaucracy: the Five Stages of Reinventing Government”
(1998), berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan
lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah
pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga multilateral mau pun bilateral dengan
cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan
mereka dan menjadikannya bagian dari paket program pengembangan good governance,
yang secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean government.
Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembagalembaga
internasional di Indonesia – khususnya privatisasi dan debirokratisasi – juga
tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan
Pemerintah Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil, tidak mencapai 20 persen
dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh di bawah negara-negara
OECD yang sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata 47.7 persen. Demikian
juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai, Indonesia ternyata berada di
bawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu
kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia
mendapat desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Dari perbandingan tersebit kita dapat simpulkan bahwa arah kebijakan
reformasi kelembagaan atau reformasi aparatur negara di negara-negara maju yang
tujuannya adalah memperkecil peranan negara dalam pembanguan ekonomi memang
tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Kalau arah kebijakan seperti
itu tetap dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap Indonesia, maka dapat
dipastikan entrofi pemerintahan akan semakin berlanjut dan Indonesia akan
betul-betul menjadi negara yang gagal yang tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas
untuk mencapai cita-cita bangsa.
C.
Reformasi
Birokrasi
Secara
harfiyah reformasi adalah berasal dari bahasa latin (Re) kembali Formare bearti
membentuk. Sehingga reformasi dapat didefinisikan sebagai “usaha untuk
membentuk kembali”. Reformasi
politik yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh
perubahan yang besar pada penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya sistem
pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem
politik demokratis dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya
tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah sistem kepegawaian meritokratik.
Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan
untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik
sebenarnya sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi
pemerintah bersih dari praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur
negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan
konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai
instansi pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU
No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya
komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawai Negara yang terdiri atas 5
anggota yang mewakili stakeholder penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah.
Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara
karena dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi
proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent
civil service commission, yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan
karena dipandang lebih mampu menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian
meritokratik.
Sebagai salah seorang penyusun yang terlibat langsung dalam penyusunan
UU No. 43 tahun 1999, saya dapat bercerita sedikit tentang kerangka pemikiran
yang mendasari pengusulan Komisi Kepegawaian tersebut. Sekitar tahun 1998-1999
para perumus memperkirakan setelah Pemilu 1999 akan terjadi perubahan yang
cukup mendasar dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian Indonesia. Jumlah
partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastic dan mencapai lebih dari
100 partai, system pemerintahan akan mengalami perubahan yang sangat
fundamental, dari system dominasi satu partai yang relatif stabil menjadi
sistem multi-partai yang relatif kurang stabil. Seiiring dengan perubahan
sistem pemerintahan, pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 telah menyebabkan
perubahan yang sangat mendasar pada hubungan pusat dan daerah.
Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem kepegawaian yang lebih
terstandardisasi, lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralistis dalam
implementasinya. Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas yang baru ini
sebagian besar beban operasional kepegawaian harus didelegasikan kepada
instansi operasional, baik departemen, lembaga non departemen mau pun pemeriantah
daerah. Otoritas kepegawaian nasional seharusnya lebih memusatkan pada
perumusan standar dan norma kepegawaian nasional, mengawasi pelaksanaan dari
norma dan standar nasional kepegawaian, termasuk menyusun kebijakan penggajian,
kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan
lebih bersifat regulating daripada implementing.
Otoritas
kepegawaian untuk melaksanakan fungsi dan tugas regulasi tersebut tidak akan
berjalan baik dalam wadah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang
konvensional, yang dipimpin oleh seorang kepala seperti yang kita kenal. Pada
suatu sistem pemerintahan yang demokratis, otoritas kepegawaian sebaiknya
dilaksanakan oleh LPND yang dipimpin oleh Komisi (Commission). Dalam text-book
administrasi, struktur seperti itu disebut multi-headed board.
Sebenarnya di dalam sistem pemerintahan Indonesia bentuk semacam itu
sudah mulai
dikenal,
misalnya, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), Komisi HAM, dan
KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan yang
lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi
pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam pemerintahan.
Demikianlah lebih kurang kerangka fikir para perumus pada waktu mengusulkan
Komisi Kepegawaian. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai
daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan
bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi
kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural
adjustment dalam
bidang
kepegawaian.
Kalau Pemerintah Indonesia dapat menerima usulan dari para peserta
Diklatpim-LAN tentang kelembagaan untuk menjalankan fungsi reformasi
administrasi dan kepegawaian, ada dua pertanyaan terkait yang perlu dicari
jawabannya. Yang pertama, perlukan Komisi independen tersebut dipimpin langsung
oleh Presiden? Yang kedua, apakah kementerian merupakan format organisasi yang
tepat untuk menjalankan fungsi koordinatif reformasi administrasi dan kepegawaian?
Menurut penulis, Komisi Kepegawaian atau Civil Service Commission yang terdiri
dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan
tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh
Presiden, apalagi kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama
otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden,
tak perlu khawatir dengan bentuk komisi independen.
Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada koordinasi
perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini
kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa
bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan
atau otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi.
D.
Pemberantasan
KKN
Pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme adalah bagian terpenting reformasi tata pemrintahan yang telah
dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang
menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi independen, lembaga eksekutif,
lembaga legislatif, komisi independen dan lembaga judikatif mungkin dapat
menjadi penunjuk betapa serius pemerintah berusaha memberantas korupsi yang
telah sangat mencemarkan nama bangsa ini dilingkungan masyarakat internasional.
Namun, walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukup
komprensif telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan
pengawasan masyarakat (community corruption watch), dan pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan tindak korupsi,
harus difahami bahwa kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pemberantasan
tindak korupsi perlu waktu. Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem hukum, sistem ekonomi, sistem
pemerintahan dan sistem administrasi yang tidak memungkinkan terjadinya praktek
korupsi.
Gerakan pemberantan KKN yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada tahun
pertama ini memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang
sebelumnya hampir padam. Namun sayangnya gebrakan-gebrakan pemberantasan
korupsi yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang
relatif kecil dan bahkan dapat dipandang sebagai kasus “membakar rumah untuk
menangkap tikus”, seperti yang terjadi pada kasus KPU, penangkapan para anggota
DPRD Propinsi Sumatera Barat, Gubernur suatu propinsi di Sumatra, beberapa
unsure pimpinan bank BUMN, dan kasus DAU. Memang semua pelaku penyimpangan
tersebut perlu ditindak, tetapi seharusnya pemerintah seharusnya lebih
mempriritaskan penindakan terhadap para koruptor kelas kakap yang telah
merugikan negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga saat ini masih bebas
berkeliaran.
Yang lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah
melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat praktek korupsi.
E.
Langkah
maju reformasi birokrasi
Reformasi aparatur negara adalah
prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan
pemerintahan yang demokratis serta system ekonomi yang dapat menciptakan
keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu
negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu
model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
Karena itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan
system ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling sesuai dengan budaya
bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong
royong atau kekeluargaan – seharusnhya merupakan landasan dasar dalam pemikiran
tentang kedua sistem tersebut.
Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh
oleh Pemerintah selama ini, terutama selama 1 tahun Pemerintahan KIB belum
menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan.
Akibatnya, reformasi kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan
landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semkian adekuat untuk melaksanakan
pemerintahan buat mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi
barutimbul yaitu ancama entrofi pemerntahan nampak semakin nyata dan semakin
mengancam kelangsungan pemerintahan KIB.
Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu
dilakukan overhaul besar-besar pada birokrasi pemerintah, yang mencakup
penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian baru termasuk penerapan
sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih rasional, serta penerapan
aplikasi tekonologi informasi modern dalam manajemen pemerintahan. Tanpa
reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi
peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Untuk
mencapai kesejahteraan bangsa dan negara, serta pembebasan bangsa terhadap
budaya KKN maka pasti tidak luput dari reformasi dalam system tata pemerintahan.
Dalam hal ini system tata pemerintahan Indonesia masih begitu lemah atau masih
banyak kekurangan. Sebagaimana pendapat Hungtinton “
1.
Kurangnya keberhasilan reformasi Indonesia karena
tiadanya talenta politik yang mendukungnya, para tokoh reformis berada dalam
area terpecah belah. Diantaranya para mahasiswa yang menjadi tulang punggung
reformasi, dan juga para tokoh pada saat itu Gus Dur, Megawati, dan Amin rais.
Tetapi mereka kalah dalam pemilu tahun 2004.
2.
Ketiadaan strategi yang digunakan dalam melakukan
reformasi.
B.
Saran
Dengan
adanya system demokrasi di era reformasi di Indonesia diharapkan mampu
menjadikan alat sebagai untuk menata
kembali tatanan pemerintah yang adil dan merata sehingga terciptanya bangsa
yang berkembang dan maju.
Mahasiswa
sebagai tulang punggung reformasi diharapkan komitmen dan selalu terus memantau
perkembangan para tokoh kita yang ada diparlemen. Sehingga mahasiswa bisa
menjadi power control keseimbangan tata pemerintahan dinegara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Mirian budiarjo,dkk. 2004. dasar –
dasar ilmu politik. Jakarta : Gramedia Pustaka.
Budi Winarno. 2007. System politik
Indonesia era reformasi. Yogja : Buku Kita.
Ananda Koesoema, 2004. Sejarah Lahirnya UUD 1945. Monograf, Pusat Studi Hukum
Ketatanegaraan,
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarkat
Madani “Transformasi Bangsa Menuju
Masyarakat Madani”. Jakarta, 1998.
www.reformasi aparatur negara.org.