Rabu, 23 Maret 2011

KONSEP DASAR
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

A. PENDAHULUAN
Situasi global membuat kehidupan semakin kompetitif dan membuka peluang bagi manusia untuk mencapai status dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Dampak positif dari kondisi global telah mendorong manusia untuk terus berpikir, dan meningkatkan kemampuan. Adapun dampak negatif dari globalisasi adalah: (1) keresahan hidup di kalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stres, kecemasan frustasi; (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi dan korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat dan benar-salah secara lugas; (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis tapi juga konflik fisik; dan (4) pelarian dari masalah melalui jalan pintas, yang bersifat sementara dan adiktif seperti penggunaan obat-obat terlarang.
Untuk menangkal dan mengatasi masalah tersebut perlu dipersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang bernutu. Manusia Indonesia yang bermutu yaitu manusia yang sehat jasmani dan rohani, bermoral, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara profesional, serta dinamis dan kreatif. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional.
Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu tidak cukup dilakukan hanya melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga harus didukung oleh peningkatan profesionalisasi dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan demi pencapaian cita-citanya.
Kemampuan seperti itu tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual, dan sistem nilai. Oleh karena itu, pendidikan yang bermutu merupakan pendidikan yang seimbang, tidak hanya mampu menghantarkan peseta didik pada pencapaian standar akademis, tetapi juga mampu membuat perkembangan diri yang sehat dan produktif. Para peserta didik adalah orang-orang yang sedang mengalami proses perkembangan yang memililki karakteristik, kebutuhan, dan tugas-tugas perkembangan yangn harus dipenuhinya. Pencapaian standar kemampuan akademis dan tugas-tugas perkembangan peserta didik, memerlukan kerjasama yang harmonis antara para pengelola atau manajemen pendidikan, pengajaran, dan bimbingan, sebab ketiganya merupakan bidang-bidang utama dalam pencapaian tujuan pendidikan.

B. URAIAN MATERI
1. Kedudukan Bimbingan dalam Pendidikan
a. Makna Pendidikan bagi Kehidupan
Pendidikan merupakan aset yang tak ternilai bagi individu dan masyarakat. Pemdidikan tidak pernah dapat dideskripsikan secara gamblang hanya dengan mencatat banyaknya jumlah siswa, personel yang terlibat, harga bangunan, fasilitas yang dimiliki. Pendidikan memang menyangkut hal itu semua, namun lebih dari itu semuanya. Pendidikan memang menyangkut hal itu semua, namun lebih dari itu semuanya. Pendidikan merupakan proses yang esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita pribadi individu. Secara filosofis historis pendidikan menggambarkan suatu proses yang melibatkan berbagai faktor dalam upaya mencapai kehidupan yang bermakna, baik bagi individu sendiri maupun masyarakat pada umumnya.

b. Harapan terhadap Pendidikan
Para peserta didik memandang sekolah sebagai lembaga yang dapat mewujudkan cita-cita mereka. Sementara orangtua menaruh harapan kepada sekolah untuk dapat mendidik anak agar menjadi orang yang pintar, terampil, dan berakhlak mulia. Apa yang diharapkan dari pendidikan untuk perkembangan peserta didik, setiap negara atau bangsa memiliki orientasi dan tujuan yang relatif berbeda. Bagi kita bangsa Indonesia, kontribusi pendidikan yang diharapkan bagi perkembangan para peserta didik termaktub dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan pendidikan tersebut menunjukkan karakter pribadi peserta didik yang diharapkan terbentuk melalui pendidikan. Klausul undang-undang ini memberikan implikasi imperatif terhadap semua penyelenggaraan pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal agar senantiasa mengorientasikan programnya untuk membangun karakter (character building) peserta didik yang mempunyai ciri-ciri pribadi seperti tercantum dalam tujuan tersebut.

c. Fungsi Pendidikan
Pendidikan mempunyai beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
1) Fungsi Pengembangan
Pendidikan bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi atau keunikan individu, baik yang terkait dengan aspek intelektual, emosional, sosial, maupun moral –spiritual. Melalui pendidikan individu memiliki peluang unntuk mengembangkan dirinya secara optimal.
2) Fungsi Penyesuaian
keragaman kemampuan, minat, dan tujuan peserta didik tercermin dalam perilaku atau kematangan individu. Pendidikan harus dapat memfasilitasi perkembangan karakteristik individu yang beragam tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memfasilitasi keragaman tersebut, diantaranya (1) menerapkan metode pembelajaran yang variatif, (2) menyelenggarakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat peserta didik, (3) menyelenggarakan kelompok-kelompok belajar sesuai dengan keunikan kemampuan masing-masing peserta didik, (4) menyelenggarakan program pengayaan dan remedial teaching, dan (5) menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk memfasilitasi semua upaya tersebut.
3) Fungsi Integratif
Fungsi pokok pendidikan lainnya adalah mengintegrasikan nilai-nilai sosial budaya ke dalam kehidupan para peserta didik, seperti manyangkut tata krama, solidaritas, toleransi, kooperatif, kolaborasi dan empati, sehingga mereka dapat belajar hidup bermasyarakat secara harmonis.

d. Posisi Bimbingan dalam Pendidikan
Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang adminstratif dan kepemimpinan, bidang instruksional dan kurikuler, dan bidang pembinaan siswa (bimbingan dan konseling). Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang adminstratif dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan mungkin hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual. Terkait dengan pentingnya bidang bimbingan dalam pendidikan ini, Phenix (Sunaryo K., 1988: 11-12) mengemukakan sebagai berikut.
....person may nor ordinary be ready for mature understanding of self and others, for moral insight, and for integratif perspective until they have passed beyond the usual period of formal general education. Succh a conclusion points to the need for continuing general education throughout life, particularly in the field of applied psychology (especially guidance and counseling on an individual or group basis with an emphasis...).
Ketiga bidang utama pendidikan di atas lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.

1) Bidang Administratif dan Kepemimpinan
Bidang ini menyangkut kegiatan pengelolaan program secara efisien. Pada bidang ini terletak tanggung jawab kepemimpinan (kepala sekolah dan staf administrasi lainnya), yang terkait dengan kegiatan perencanaan, organisasi, deskripsi jabatan atau pembagian tugas, pembiayaan, penyediaan fasilitas atau sarana prasarana (material), supervisi, dan evaluasi program.
2) Bidang Instruksional dan Kurikuler
Bidang ini terkait dengan kegiatan pengajaran yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan pengembangan sikap. Pihak yang bertanggung jawab secara langsung terhadap bidang ini adalah para guru.
3) Bidang Pembinaan Siswa (Bimbingan dan Konseling)
Bidang ini terkait dengan program pemberian layanan bantuan kepada peserta didik (siswa) dalam upaya mencapai perkembangannya yang optimal, melalui interaksi yang sehat dengan lingkungannya. Personel yang paling bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bidang ini adalah guru pembimbing atau konselor.

2. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan terjemahan dari “guidance” dan “counseling” dalam bahasa inggris. Secara harfiyah istilah “guidance” dari akar kata “guide” berarti: (1) mengarahkan (to direct), (2) memandu (to pilot), (3) mengelola (to manage), dan (4) menyetir (to stear). Banyak pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya sebagai berikut.
Menurut Frank Parson sebagai bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat memilih, mempersiapkan diri dan memangku suatu jabatan serta mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya. Sedangkan menurut Rahman Natawidjaja mengartikan bimbingan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada umunya.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya bimbingan merupakan pemberian pertolongan atau bantuan. Namun demikian, tidak semua pertolongan dapat disebut bimbingan. Meskipun pengertian-pengertian di atas menampakkan variasi namun terdapat sejumlah unsur yang menunjukkan kesamaan. Kesamaan uyang paling menonjol yaitu adanya perumusan tujuan bimbingan, yang merupakan ciri khas bimbingan sebagai bantuan.
Istilah konseling merupakan terjemahan dari kata counseling. Menurut arti katanya, counseling, yang berasal dari kata counsel mempunyai arti nasihat, anjuran, pembicaraan. Seperti halnya dengan pengertian bimbingan (guidance), pengertian konseling juga didefinisikan secara beragam oleh para ahli. Menurut Maclean pengertian konseling adalah sebagai berikut:
Secara etimologis istilah konseling berasal dari bahasa latin yaitu consilium yang berarti dengan atau bersama. Sedangkan yang dimaksud dengan konseling suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu karena masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja yang professional.
Menurut ASCA (American School Counselor Association) mengemukakan bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan pengetahuan ketrampilannya untuk membantu kliennya mengatasi masalah-masalahnya.
Dari pengertian-pengertian konseling di atas, di samping ada perbedaan namun ada juga kesamaan yang merupakan hal pokok dalam konseling, yaitu pemecahan masalah. Dalam proses konseling ada suatu masalah yang dialami oleh konseli, yaitu individu yang mempunyai masalah, yang perlu mendapatkan pemecahan sesuai keadaan konseli.
Proses konseling pada dasarnya dilakukan secara individual, yaitu antara konseli dan konselor, walaupun dalam perkembangan kemudian ada konseling kelompok. Pemecahan masalah dalam proses konseling itu dijalankan dengan wawancara atau diskusi antara konseli dengan konselor, yang dilakukan secara face to face.

3. Sejarah perkembangan Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang relatif baru dibandingkan ilmu-ilmu yang lain. Perkembangan bimbingan dan konseling baru dimulai sekitar permukaan abad XX. Diawali dengan munculnya gerakan-gerakan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Frank Parsons, Jesse B. Davis, Eli Wever, John Brewer.
Sejarah perkembangan bimbingan dan konseling diawali pada tahun 1908 dimana Frank Parsons mendirikan suatu biro di Boston. Biro tersebut dimaksudkan untuk membantu mencapai individu (para pengangguran) dalam mencari pekerjaan yang tepat dengan cara mencocokkan karakteristik individu dengan tuntutan atau persyaratan pekerjaan. Bantuan dalam pemilihan pekerjaan ini pada akhirnya merupakan salah satu aspek penting dalam layanan bimbingan dan konseling. Parsons dikenal sebagai bapak dari bimbingan karena telah mempelopori gerakan bimbingan yang selanjutnya menjadi bidang layanan yang berkembang pesat.
Jesse B. Davis, sebagai konselor sekolah di Central High School di Detroit, juga turut melakukan gerakan dalam bidang bimbingan dan konseling. Davis memberikan kuliah mengenai bimbingan dan konseling pada tahun 1910-1916. kegiatan tersebut juga dilakukan oleh Eli Wever di New York dan John Brewer di Universitas Harvard. Mereka termasuk tokoh-tokoh yang mengembangkan bimbingan dan konseling.
Setelah Perang Dunia II, kegiatan bimbingan dan konseling lebih banyak dimanfaatkan untuk membantu para tentara veteran perang dalam upaya mencari pekerjaan agar dapat kembali dalam kehidupan mesyarakat biasa. Hal ini menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling yang ada saat ini diawali dengan vocational guidance yang dirintis oleh Frank Parsons.
Bimbingan dan konseling berkembang semakin luas. Layanan bimbingan dan konseling pun kemudian tidak hanya terbatas pada bidang pekerjaan melainkan juga lapangan pendidikan dan kepribadian. Dalamperkembangannya, bimbingan dan konseling di Amerika Serikat tiidak hanya dilakukan di biro-biro penempatan kerja, tetapi juga diberikan di lapangan industri, pendidikan, ketentaraan, dan lain-lain.
Sejarah perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia tidak sepanjang sejarah perkembangan bimbingan dan konseling di Amerika Serikat. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang dimulai dengan gerakan bimbingan dalam bidang pekerjaan, perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia dimulai dalam lapangan pendidikan. Bimbingan dan konseling dikenal di Indonesia setelah beberapa tokoh Indonesia berkunjung ke Amerika Serikat. Kemudian dalam konferensi FKIP se-Indonesia yang dilakukan pada tahun 1960 di Malang diputuskan bahwa bimbingan dan konseling (yang waktu itu masih dikenal dengan istilah bimbingan dan penyuluhan sebagai terjemahan dari guidance and counseling) dimasukkan dalam kurikulum FKIP. Hal ini menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling sebagai suatu ilmu telah dibahas secara ilmiah.
Namun, sebelum istilah bimbingan dan konseling dikenal, di Indonesia juga telah terdapat gerakan yang bernuansa bimbingan seperti yang dilakukan Frank Parsons di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dengan didirikannya Kantor Penempatan Kerja setelah proklamasi kemerdekaan dan kemudian dikenal pula Balai Latihan Kerja sebagai tempat untuk melatih para pencari kerja.
Untuk pertama kalinya pelayanan bimbingan dan konseling tertuang dalam kurikulum 1975 untuk SMP dan SMA. Dalam kurikulum SMP/SMA 1975 teradapat buku Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan (buku III C) yang menguraikan fungsi dan ruang lingkup program BK, kegiatan-kegiatan bimbingan, sarana dan prasarana, personil dan adminstrasi, serta contoh-contoh perlengkapan adminstrasi.
Dalam perkembangannya, mulai muncul tulisan-tulisan atas buku-buku tentang bimbingan dan konseling yang dibuat oleh tokoh-tokoh di Indonesia serta berbagai kegiatan berkenaan dengan bimbingan dan konseling. Salah satu peristiwa atau kegiatan yang menunjukkan sejarah perkembangan bimbingan dan konseling yaitu diselenggarakannya Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang pada tahun 1975 yang mendirikan organisasi profesi bimbingan dan konseling yang saat itu diberi nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) dan saat ini berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan konseling Indonesia (ABKIN). Dalam konvensi tersebut telah dihasilkan kode etik jabatan konselor sekolah.
Dalam perkembangannya, jika pada tahun-tahun sebelumnya pelayanan bimbingan dan konseling terutama diarahkan untuk membantu kesulitan-kesulitan yang dialami siswa selama belajar di sekolah (SMA), maka sekarang diarahkan pada masa sesudah pendidikan di SMA selesai. Sehingga pelayanan bimbingan dan konseling lebih bermakna sebagai penunjang pada persiapan siswa dalam menghadapi masa depannya.

4. Tujuan Bimbingan dan Konseling
Secara Umum tujuan layanan bimbingan dan konseling adalah membantu peserta didik mengenal bakat, minat, dan kemampuannya, serta memilih dan menyesuaikan diri dengan kesempatan pendidikan dan merencanakan karier yang sesuai dengan tuntutan kerja. Sedangkan secara khusus layanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu peserta didik agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangan meliputi aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier.

5. Fungsi Bimbingan dan Konseling
Beberapa ahli memberikan berbagai fungsi bimbingan dan konseling yang beragam. Secara rinci, fungsi bimbingan dan konseling dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Fungsi pemahaman, adalah fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan pemahaman peserta didik tentang diri dan lingkungan.
2. Fungsi pencegahan, adalah fungsi bimbingan dan konseling dalam upaya mencegah peserta didik agar tidak menemui permasalahan yang akan dapat mengganggu, menghambat, atau menimbulkan kesulitan dalam proses perkembangannya.
3. Fungsi perbaikan, adalah fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu peserta didik mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.
4. Fungsi pemeliharaan, adalah fungsi bimbingan dan konseling untuk menjaga agar perilaku peserta didik yang sudah menjadi baik jangan sampai rusak kembali.
5. Fungsi pengembangan, adalah fungsi bimbingan dan konseling dalam mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki peserta didik.
6. Fungsi penyaluran, adalah fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu peserta didik untuk memilih dan memantapkan penguasaan karier yang sesuai dengan bakat, minat, kehlian, dan ciri-ciri kepribadiannya.
7. Fungsi penyesuaian, adalah fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu peserta didik menemukan penyesuaian diri dan perkembangannya secara optimal.
8. Fungsi adaptasi, adalah fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu staf sekolah untuk mengadaptasikan program pengejaran dengan minat, kemampuan, serta kebutuhan peserta didik.

6. Azas-azas Bimbingan dan Konseling
Dalam menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling hendaknya selalu mengacu pada azas-azas dalam bimbingan dan konseling. Azas-azas bimbingan dan konseling ini dianggap sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling. Beberapa azas yang perlu diperhatikan adalah:
1. Azas kerahasiaan
Secara khusus layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah melayani peserta didik yang mengalami masalah. Masalah yang dihadapi oleh peserta didik tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak berkepntingan. Segala sesuatu yang disampaikan oleh peserta didik kepada konselor harus dijaga kerahasiannya. Demikian pula hal-hal tertentu yang dialami peserta didik tidak akan menjadi bahan gunjingan. Azas kerahasiaan merupakan azas kunci dalam kegiatan konseling. Jika azas ini benar-benar dijalankan maka para penyelenggara kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah akan mendapat kepercayaan dari peserta didik dan layanan bimbingan dan konseling akan dimanfaatkan secara baik oleh peserta didik.
2. Azas kesukarelaan
Pembimbing/konselor wajib mengembangkan sikap suka rela pada diri klien (peserta didik) sehingga klien mampu menghilangkan rasa keterpaksaannya kepada pembimbing/konselor. Kesukarelaan tidak hanya dituntut paada diri klien, namun hendaknya juga berkembang paada diri konselor/pembimbing.
3. Azas keterbukaan
Kegiatan bimbingan dan konseling yang efisien hanya berlansung dalam suasana keterbukaan, baik yang dibimbing maupun si pembimbing/konselor hendaknya dapat bersikap terbuka. Dengan keterbukaan maka penelaahan masalah serta pengkajian berbagai kekuatan dan kelemahan menjadi lebih akurat.
4. Azas kekinian
Masalah klien yang ditanggulangi melalui layanan bimbingan dan konseling adalah masalah-masalah yang sedang dirasakan kini (sekarang), artinya bukan masalah yang telah lewat. Bila ada hal-hal tertentu yang menyangkut masa lampau dan masa yang akan datang yang perlu dibahas hanya merupakan latar belakang atau latar depan dari masalah yang sedang dihadapi sekarang.
5. Azas kemandirian
Dalam memberikan layanan, para petugas bimbingan dan konseling hendaklah selalu berusaha menghidupkan kemandirian pada diri orang yang dimbimngnya agar tidak bergantung pada orang lain, khususnya pada pembimbing/konselor.
6. Azas kegiatan
Usaha layanan bimbingan dan konseling hendaknya dapat memfasilitasi tumbuhnya suasana yang akan membawa individu (yang dibimbing) mampu melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
7. Azas kedinamisan
Layanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri individu yang dibimbing, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik.
8. Azas keterpaduan
Layanan bimbingan dan konseling berusaha memadukan berbagai aspek dari individu yang dibimbing. Di samping keterpaduan pada diri individu yang dibimbing, juga diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan sehingga tidak bertentangan dengan aspek layanan yang lain.
9. Azas kenormatifan
Layanan bimbingan dan konseling hendaknya tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik bagi individu maupun masyarakat.
10. Azas keahlian
Kegiatan bimbingan dan konseling perlu dilaksanakan secara teratur dan sistematis dengan menggunakan teknik-teknik dan alat-alat yang memadai. Petugas bimbingan dan konseling adalah orang yang ahli dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling.
11. Azas alih tangan
Petugas bimbingan dan konseling hanya menangani masalah-masalah yang sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
12. Azas tut wuri handayani
Keberadaan bimbingan dan konseling hendaknya diarasakan manfaatnya oleh peserta didik setiap saat, tidak hanya ketika peserta didik menghadapi pembimbing saja.
7. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan tentu saja mengikuti kaidah-kaidah tertentu. Berkenaan dengan kaidah atau aturan yang harus diikuti, maka suatu program kegiatan memiliki prinsip-prinsip yang harus diindahkan dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Demikian juga dengan program bimbingan dan konseling, memiliki prinsip-prinsip agar dapat terlaksana dengan baik.
Holins (Laksmi, 2003) mengemukakan beberapa prinsip bimbingan yang disebut sebagai prinsip-prinsip filsafat bimbingan, yaitu:
1) Penghargaan terhadap individu merupakan hal yang paling utama
2) Tiap individu berbeda dengan individu lainnya
3) Perhatian pertama dari bimbingan adalah individu dalam konteks sosial
4) Sikap dan persepsi pribadi dari individu merupakan dasar dari perbuatan individu
5) Pada umumnya, individu berbuat untuk memperkuat gambaran tentang pribadinya
6) Individu memiliki kemampuan bawaan untuk belajar, dan dapat dibantu dalam melakukan pilihan yang akan menuntutnya pada pengarahan diri yang selaras dengan penyempurnaan sosial
7) Individu membutuhkan bimbingan sejak masa kanak-kanak sampai dewasa
8) Pada suatu ketika, tiap individu membutuhkan bantuan yang bersifat informasi dan pribadi yang dibeikan oleh ahli yang profesional
Dalam melaksanakan bimbingan dan konseling di sekolah, Nana S. Sukmadinata (2007) mengemukakan beberapa prinsip yang menjadi pegangan konselor. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a) Bimbingan dan konseling membantu siswa mengembangkan kemampuannya untuk kepentingan diri dan lingkungannya.
b) Bimbingan dan konseling memberikan layanan kepada semua siswa
c) Layanan bimbingan dan konseling diberikan secara kontinyu
d) Layanan bimbingan dan konseling diberikan dengan berpusat pada siswa
e) Layanan bimbingan dan konseling melayani semua kebutuhan siswa secara luas
f) Proses bimbingan dilakukan secara demokratis dan diarahkan agar siswa mampu membuat keputusan
g) Dalam bimbingan dan konseling, peserta didik dibantu untuk mengembangkan kemampuan dalam membimbing dirinya sendiri
h) Kepribadian, keahlian dan pengalaman konselor sangat mempengaruhi keberhasilan layanan bimbingan dan konseling
i) Faktor-faktor lingkungan siswa, baik lingkungan rumah, sekolah maupun masyarrakat, hendaknya diperhatikan dalam membimbing siswa
j) Dalam proses bimbingan dan konseling membutuhkan kerjasama dengan seluruh staf sekolah, orang tua siswa, maupun lembaga-lembaga masyarakat
Dari uraian diatas, jelaslah pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Bimbingan adalah suatu proses membantu individu (peserta didik) agar mereka dapat membantu dirinya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Bimbingan hendaknya bertitik tolak (berfokus) pada individu yang dibimbing
3. Bimbingan diarahkan pada individu (peserta didik), dan tiap peserta didik memiliki karakteristik tersendiri, oleh karena itu pemahaman keragaman dan kemampuan peserta didik yang dibimbing sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan Bimbingan dan konseling.
4. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tim pembimbing lingkungan lembaga pendidikan, hendaknya diserahkan kepada ahli atau lembaga yang berwenang menyelesaikannya
5. Kegiatan bimbingan/konseling dimulai dengan identifikasi kebutuhan yang dirasakan oleh individu (peserta didik) yang akan dibimbing/konseling.
6. Bimbingan harus luwes dan fleksibel, sesuai dengan kebutuhan individu dan masyarakat.
7. Program bimbingan dan konseling di likngkungan lembaga pendidikan tertentu harus sesuai dengan programpendidikan pada lembaga yang bersangkutan.
8. Pelaksanaan program bimbingan dan konseling hendaknya dikelola oleh orang yang memiliki keahlian dalam bidang bimbingan, dapat bekerja sama dan menggunakan sumber-sumber yang relevan di dalam maupun di luar lembaga penyelenggaraan pendidikan.
9. Pelaksanaan program bimbingan dan konseling hendaknya dievaluasi untuk mengetahui hasil dan pelaksanaan program.

8. Bidang Bimbingan dan Konseling
Pelayanan bimbingan konseling di sekolah mencakup 4 bidang bimbingan yaitu bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir.
1. Bidang Bimbingan Pribadi
Pelayanan bimbingan pribadi bertujuan membantu siswa mengenal, menemukan, dan mengembangkan pribadi yang beriman, bertakwa terhadap tuhan yang maha esa, mandiri, serta sehat jasmani. Bidang ini dirinci menjadi pokok-pokok berikut.
a. Pemantapan kebiasaan dan pengembangan sikap dalam beriman dan bertakwa terhadap tuhan yang maha Esa
b. Pemahaman kekuatan diri dan arah pengembangannya melalui kegiatan yang kreatif dan produktif dalam kehidupan sehari-hari, dimasyarakat, maupun untuk peranannya dimasa depan.
c. Pemahaman bakat dan minat pribadi, serta penyalurannya dan pengembangannya, melalui kegiatann yang kreatif dan produktif.
d. Pengenalan kelemahan diri dan upaya menanggulangannya
e. Pemahaman dan pengalaman hidup sehat
2. Bidang bimbingan sosial
Bimbingan sosial disekolah bertujuan membantu siswa memahami diri dalam kaitannya dengan lingkunan dan etika pergaulan yang dilandasi budi pekerti luhur dan tanggung jawab sosial. Bidang bimbingan sosial meliputi pokok-pokok berikut.
a. Pengembangan kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
b. Pengembangan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial. Baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat ddengan menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan yang berlaku.
c. Pengembangan hubungan yang harmonis dengan teman sebaya didalam dan diluar sekolah serta di masyarakat pada umumnya.
d. Pemahaman dan pengalaman disiplin dan peraturan sekolah.
3. Bidang Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar di sekolah bertujuan membantu siswa mengenal, menumbuhkan dan mengembangkan diri, sikap dan kebiasaan belajar yang baik untuk mengusai pengetahuan dan ketrampilan, sesuai dengan program belajar di sekolah dalam rangka menyiapkan melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi dan berperan serta dalam kehidupan masyarakat.
Bimbingan ini dapat dirinci sebagai berikut.
a. Pengembangan sikap dan kebiasaan belajar yang baik yang meliputi bersikap baik terhadap guru dan staf yang terkait, mengerjakan tugas, mengembangkan ketrampilan, serta dalam menjalani program penilaian, perbaikan dan pengayaan.
b. Menumbuhkan disiplin siswa dalam belajar dan berlatih, baik secara mandiri maupun berkelompok.
c. Mengembangkan penguasaan materi program belajar.
d. Mengembangkan pemahaman dan pemanfaatan kondisi fisik, sosial dan budaya di lingkungan sekolah atau alam sekitar untuk pengembangan pengetahuan, ketrampilan dan pengembangan pribadi.
e. Orientasi belajar di sekolah menengah, baik umum maupun kejuruan.
4. Bidang Bimbingan Karir
Bimbingan karir di sekolah bertujuan membantu siswa mengenal potensi diri sebagai pra syarat dalam mempersiapkan masa depan karir masing-masing siswa. Bidang ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut.
a. Pengenalan konsep diri berkaitan dengan bakat dan minat kecenderungan pilihan jabatan serta arah pengembangan karir.
b. Pengenalan bimbingan karir/ kerja, khususnya berkenaan dengan pilihan pekerjaan.
c. Orientasi dan iinformasi jabatan dan usaha memperoleh penghasilan.
d. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki setelah lulus.
e. Orientasi dan informasi pendidikan lanjutan, baik umum maupun kejuruan, sesuai dengan cita-cita melanjutkan pendidikan dan pengembangan karir.
9. Peran serta guru dalam layanan bimbingan peserta didik di sekolah
Lihat Struktur di bawah ini.

Personalia bimbingan konseling merupakan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan bimbingan konseling yang meliputi : kepala sekolah, wali kelas, guru, dan petugas administrasi bimbingan. Penjelasan tugas-tugas masing-masing personil dijelaskan dibawah ini.

a. Kepala Sekolah
1) Menyusun program sekolah secara keseluruhan, termasuk menyusun secara kolektif program bimbingan yang bersifat komprehensif.
2) Mengusahakan bentuk-bentuk pembinaan intem yang intensif melalui rapat rutin, insendental, konferensi kasus, dan sebagainya.
3) Mengkoordinasikan bentuk kegiatan bimbingan konseling dengan kegiatan guru bidang studi.
4) Mengusahakan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh bimbingan konseling
5) Mengadakan hubungan kerjasama dengan instansi lain di luar sekolah yang berhubungan dengan bimbingan konseling.
6) Mengusahakan dan membina bentuk kerjasama bimbingan konseling antar sekolah dalam berbagai bentuk dan pengalaman.
7) Mendorong para petugas bimbingan konseling untuk melaksanakan tugasnya, serta menciptakan situasi yang menggairahkan kerja petugas bimbingan konseling.
8) Menggali berbagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk pengembangan bimbinngan konseling.
9) Mengawasi pelaksanaan program bimbingan konseling.

b. Konselor
1) Mengkoordinasikan penyusunan program bimbingan konseling.
2) Memberikan garis-garis kebijakan umum kegiatan bimbingan konseling.
3) Bertanggung jawab atas pelaksanaan program bimbingan konseling.
4) Memberikan laporan kegiatan kepada kepala sekolah.
5) Membantu siswa dalam memahami dan menyesuaikan diri sendiri, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial.
6) Menyelenggarakan pertemuan dan mengadakan konsultasi dengan guru, wali kelas, dan staf sekolah.
7) Melaksanakan bimbingan kelompok dan konseling individual.
8) Mengumpulkan dan menyusun data, mengolah dan menafsirkan data, serta dipergunakan untuk pihak-pihak yang berkepentingan.
9) Memberikan berbagai informasi kepada siswa sehubungan dengan pendidikan dan pekerjaan.
10) Mengadakan konferensi kasus untuk membicarakan masalah yang dihadapi siswa serta upaya untuk memecahkannya.
11) Mengadakan konsultasi orang tua siswa dan melaksanakan kunjungan rumah.
12) Mengadakan kerjasama dengan instansi lain berkaitan dengan penyelenggaraan program bimbingan konseling
13) Memilih dan mempergunakan instrumen sesuai kewenangannya untuk kepentingan bantuan siswa.
14) Bersama guru membantu siswa memilih pengalaman kegiatan kurikulum yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya.
15) Menyelenggarakan layanan reveral kepada pihak-pihak yang berwenang.
16) Mengadakan evaluasi dan studi tindak lanjut berkaitan dengan perbaikan program bimbingan konseling.

c. Wali kelas
1) Mengumpulkan data tentang siswa.
2) Mengidentifikasi kebutuhan dan masalah yang dihadapi siswa di kelas.
3) Menyelenggarakan diagnosa kesulitan belajar siswa.
4) Membantu memberikan informasi kepada siswa
5) Menyelenggarakan bimbingan kelompok
6) Berpartisipasi aktif dalam konferensi kasus.
7) Mengadakan penilaian prestasi belajar siswa dan menyempaikannya pada konselor.
8) Merujuk siswa yang bermasalah kepada konselor untuk memperoleh bantuan profesional.
9) Membantu secara aktif penyelenggaraan program bimbingan konseling sekolah.
10) Mengadakan penyaluran dan penempatan siswa.
11) Bekerjama dengan konselor dalam memanfaatkan berbagai data siswa.

d. Guru
1) Turut aktif dalam membantu pelaksanaan bimbingan konseling.
2) Memberikan informasi tentang siswa kepada konselor.
3) Memberikan layanan pengajaran.
4) Berpartisipasi dalam konferensi kasus.
5) Meneliti kesulitan dan kemajuan belajar siswa.
6) Membantu pemecahan masalah siswa sesuai kewenangannya.
7) Merujuk siswa bermasalah kepada konselor.

e. Petugas administrasi bimbingan konseling
1) Mengisi kartu pribadi siswa dengan data-data siswa baik tentang pribadi, sekolah, maupun lingkungan siswa.
2) Mengelola data pada tempat yang telah disediakan.
3) Membantu proses pengumpulan data dan mempersiapkan laporan bimbingan konseling.
4) Menyelenggarakan surat-menyurat dan pembukuan berkaitan dengan program bimbingan konseling.
5) Menyiapkan alat-alat pengumpulan data siswa.
6) Menata serta memelihara ruangan bimbingan konseling.

Demikian materi tentang konsep bimbingan konseling di sekolah secara singkat agar dapat dipelajari dalam rangka sebagai pembelajaran materi perkembangan peserta didik dan diharapkan mahasiswa mampu menerapkan dalam perkuliahan.
MEDIA BELAJAR dalam PELATIHAN PARTISIPATIF
By : mufid
Disampaikan pd TOT in Bem center undar

Pengertian dan Manfaat

Media belajar adalah alat bantu dalam kegiatan pembelajaran yang jenis dan bentuknya bermacam – macam. Dalam menyiapkan dan merancang media belajar, fasilitator perlu menyesuaikan metode yang dipergunakan. Sedangkan metode belajar ini, disesuaikan dengan tujuan belajar. Di dalam pembahasan satu topik (materi) belajar, biasanya :
 Dipergunakan variasi metode belajar
 Dipergunakan variasi media belajar yang sesuai

Media belajar bermnafaat untuk :

 Alat bantu Pemandu untuk memberi penjelasan kepada warga belajar.
 Meningkatkan dan mendorong partisipasi dan keaktifan peserta belajar, artinya : media sebaiknya dibuat sederhana dan mudah dipergunakan oleh peserta.
 Menimbulkan daya tarik belajar, artinya : media belajar sebaiknya bervariasi, menarik dan kalau perlu dengan menggunakan visualisasi (gambar)
 Meningkatkan pemahaman peserta, artinya : media belajar sebaiknya membentu memperjelas materi yang sedang dibahas, khususnya hal – hal abstrak yang sulit dijelaskan dengan kata – kata.

Jenis Media Belajar

Media belajar yang biasa dipergunakan, terdiri dari banyak jenis dan bentuk. Seorang Pemandu, perlu memiliki kreativitas dan keterampilan untuk membuat media belajarnya sendiri. Jenia media belajar antara lain :

 Lembar penugasan (kelompok/perorangan)
 Lembar kasus/Cerita
 Lembar praktek (panduan praktek)
 Skenario bermain peran (role play/drama/frgamen)
 Bahan permainan/teka – teki
 Gambar sederhana
 Plastik transparansi
 Kartu metapaln (yang sudah diisi tulisan
 Komik/cerita bergambar
 Gambar/foto/poster
 Tayangan Video
 Kaset cerita
 Boneka/wayang (puppet – show)
 Lembar balik (flip – chart)
 Dan sebagainya

Beberapa jenis media seperti modul, buklet, buku, komik, fotonovela yang isinya lebih panjang (banyak), bisa dianjurkan sebagai bahan bacaan untuk peserta belajar, apabila diperlukan.

Media seperti leaflet, bosur, jarang dipergunakan sebagai media pelatihan karena biasanya juga bersifat informasional (bahan bacaan).

Bahan dan Alat Pelatihan

Bahan dan alat peltihan terkadang merupakan media belajar, tetapi terkadang hanya merupakan perlengkapan belajar saja. Contohnya :
 Dalam bermain peran, diperlukan sayur-sayuran hijau untuk tokoh ibu yang sedang menyampaikan contoh makanan berzat besi tinggi; sayur – sayuran hijau dalam kegiatan ini merupakan bahan atau perlengkapan saja, bukan media belajar.
 Tetapi dalam pembahasan materi tentang makanan bergizi, contoh sayur-sayuran menjadi media belajar (bahan peragaan) untuk membahas jenis zat gizi yang terkandung di dalamnya.

Apabila alat/bahan tidak dipergunakan sebagai sarana langsung dalam proses pembelajaran, maka tidak termasuk ke dalam media pembelajaran. Beberapa bahan/alat pembelajaran yang biasanya dipergunakan adalah :

 Papan tulis biasa, white – board, magentic – board
 Kertas plano
 Kuda – kuda flip – chart
 Proyektor (slide, film,video)
 Kartu – kartu metaplan (dibuat dari karton manila bermacam warna dengan - bn ukuran tertentu
 Bahan – bahan praktek/peragaan
 Ruangan yang cukup luas untuk 25-30 orang (bisa bergerak leluasa, melakukan diskusi kelompok, permainan yang tidak dinamis, dsb)
 Kursi dan meja yang tidak mengganggu ruang gerak peserta. Dalam pelatihan partisipatif, sebaiknya digunakan kursi yang memiliki meja lengan, sehingga tidak perlu pakai meja lagi, dan peserta leluasa berpindah atau bergerak. Kalaupun tidak ada kursi bermeja lengan, jangan pakai meja besar/panjang yang menghabiskan tempat dan menghalangi.
 Buku tulis, bolpoint, penghapus, supidol, selotip, gunting, paper-clip (penjepit kertas), stapler dan sebagainya.

Menentukan dan Mempersiapkan Media Belajar

Dalam menentukan media belajar untuk pelatihan, Pemandu menyesuaikan dengan kebutuhan setiap materi belajar. Seperti yang telah disampaikan di atas, setiap metode yang dipergunakan akan membutuhkan media tertentu. Karena itu, buatlah tabel check – list kebutuhan media untuk seluruh pelatihan agar tidak ada yang terlupa.

Karena di dalam pelatihan biasanya Pemandu merupakan tim, maka untuk mempersiapkannya bisa dibagi tugas. Koordinator tim Pemandu kemudian mencek apakah masing – masing pemandu sudah siap dengan media yang perlu digunakan untuk masing – masing topik bahasan.

Dalam mempersiapkan media belajar, Pemandu perlu mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut :

 Media gambar; apabila digunakan di dalam diskusi umum (pleno), sebaiknya ukurannya cukup besar (ukuran poster), supaya bisa dilihat dengan jelas oleh seluruh peserta di dalam kelas. Media gambar yang dibuat sendiri, bisa dibuat dengan kertas lebar (plano). Apabila ukurannya kecil (ukuran kartu atau kertas HVS), hanya cocok digunakan dalam diskusi keplompok atau tugas perorangan.

 Media tulisan; apabila digunakan di dalam diskusi umum (pleno), tulisan sebaiknya dibuat dalam bentuk huruf balok, dengan ukuran besar, supaya bisa dibaca oleh seluruh peserta di dalam kelas. Tulisan bisa dibuat di atas papan tulis atau kertas lebar (plano). Apabila tersedia overhead proyektor, tulisan bisa dibuat di atas plastik transparans dan diperbesar oleh proyektor.Saat ini juga biasa digunakan alat bantu LCD (In focus) yang diasmbungkan ke komputer sebagai media bantu. Hanya perhatikan prisnsip-prinsip pembuatan media transparan baik memakai OHP maupun LCD, bentuk huruf sebaiknya balok, ukuran paling sedikit (paling kecil) 18 font (menurut ukuran komputer) dan isinya hanya point – pointnya saja (kalimat kunci).

 Media audio-visual; sebelum dipergunakan dalam pembahasan materi di kelas, media sudah dipersiapkan dan dicoba terlebih dahulu. Yang perlu diperhatikan adalah jarak pandangan peserta terhadap gambar, dan volume suara, agar seluruh peserta bisa melihat dan mendengar secara jelas. Semakin canggih media yang diperlukan, Pemandu juga semakin memerlukan fasilitas pendukung (listrik, layar, proyektor, kabel dan sebagainya).

PENGGUNAAN MEDIA

Apa ‘Kegiatan Belajar ‘ ?

• Kegiatan belajar merupakan kegiatan sehari – hari yang dilaksanakan oleh fasilitator atau bersama masyarakat sasaran untuk menambah pengetahuan dan keterampilan yang dapat meningkatkan kesadaran dan memperbaiki kehidupan masyarakat.

• Kegiatan belajar seperti ini tidak sama dengan kegiatan belajar di sekolah, karena bahan belajarnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan kelompok yang benar – benar bermanfaat dalam kehidupan praktis sehari – hari.

• Begitu juga dengan cara belajarnya, dilaksanakan lebih informal, santai dan bebas, sesuai dengan kreativitas kelomok itu sendiri. Tidak ada yang bertindak sebagai guru dalam kegiatan belajar ini karena pengetahuan dan pengalaman setiap peserta bisa disumbangkan.

• Sebagai fasilitator, pendamping atau kader perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan baru karena seringkali mereka diharapkan juga untuk menjadi narasumber oleh kelompok belajar.

Mengapa Menggunakan Media dalam Kegiatan Belajar

Berkomunikasi dengan masyarakat ( kelompok dampingan) merupakan pekerjaan terpenting pendamping atau kader. Proses komunikasi terutama terjadi dalam kegiatan – kegiatan belajar, baik berupa pertemuan perencanaan program, diskusi mengenai suatu materi atau permasalahan, praktek maupun pelatihan.


Media yang dipilih untuk suatu kegiatan belajar harus sesuai dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Tetapi selain memilih media yang tepat, perlu juga diperhatikan cara menggunakan media secara baik dan benar. Sebab bentuk media apapun yang digunakan, meskipun dirancang dengan baik, tanpa
difasilitasi dengan baik proses diskusinya, media – media tidak akan mengsilkan dampak seperti yang diharapkan. Untuk itu, keterampilan memfasilitasi diskusi dengan menggunakan media merupakan faktor yang menentukan bagi pengguna media.

Langkah – Langkah Menggunakan Media

Berikut ini pedoman umum yang dapat dijadikan acuan dalam menggunakan media secara tepat :

Persiapan

Langkah – langkah persiapan :
• Mempelajari dan menguasai materi dan tujuan belajarnya sendiri, karena media hanyalah alat Bantu dari kegiatan belajar. Tidak ada salahnya fasilitator mempersiapkan catatan-catatan singkat mengenai isu – isu kunci yang akan diajukan sebagai penggerak diskusi.

• Mempelajari fungsi media berdasarkan tujuan belajar yang bersangkutan, apakah media yang akan disajikan itu untuk motivasi, penyadaran atau instruksi teknis.

• Memperhatikan bentuk media yang akan digunakan, apakah akan menggunakan poster, poster seri, atau brosur. Ini akan berhubungan dengan kemampuan kelompok diskusi dalam menyimak kajian diskusi. Misalnya, media brosur atau buklet kurang tepat digunakan untuk kelompok yang terbatas kemampuan membacanya. Untuk kelompok ini, poster tunggal atau postr seri akan lebih tepat.

• Memperhatikan jumlah peserta yang dianjurkan dan tata ruang yang tepat dalam menggunakan media tersebut. Misalnya tayangan video/slide dapat disajikan untuk semua peserta dalam sebuah kelas belajar 20 orang, tetapi fotonovela berbentuk buklet hanya bisa dipergunakan dalam kelompok-kelompok kecil. Untuk kebutuhan ini, tata ruang yang tepat perlu dipersiapkan sejak awal.

• Mempelajari cara menggunakan media tersebut. Sebaiknya media itu dicoba terlebih dahulu sebelum dipergunakan dalam kelompok belajar, terutama media yang memerlukan alat Bantu seperti tayangan slide/video misalnya.

Catatan :

• Persiapan akan lebih mudah apabila media yang akan digunakan memiliki pedoman penggunaannya. Pedoman ini biasanya menjelaskan mengenai fungsi media, jumlah pesera maksimal yang dianjurkan, langkah – langkah dan cara menggunakannya serta tata ruang yang dianjurkan.


• Bahan/materi belajar harus disusun oleh fasilitator karena biasanya media-media diskusi memuat hanya informasi-informasi secara tebatas (yang penting-penting saja). Banyak media mencantumkan materi, karena media dipergunakan untuk membahas satu kasus setelah materi dari fasilitator didiskusikan.

Pelaksanaan

• Sebelum memulai pertemuan/diskusi, ciptakan suasana yang santai, sehingga peserta tidak merasa berada dalam sebuah kelas belajar, melainkan dalam kelompok diskusi informal. Bisa juga dimulai dengan permainan atau crita lucu.

• Kemudian sampaikan maksud dan tujuan dilaksanakannya kegatan belajar serta topik yang akan dibahas.

• Sampaikan dan sepakati bersama dengan peserta mengenai perkiraan waktu yang diperlukan untuk kegiaatan ini.

• Mulailah kegiatan belajar sesuai dengan langkah – langkah yang dipersiapkan. Pergunakan media yang telah dipersiapkan untuk menyampaikan informasi belajar. Media akan lebih baik bila dipergunakan sebagai bahan diskusi sehingga kegiatan belajar lebih ontraktif ( timabl balik)

• Fsilitator harus selalu menjaga agar media dapat dilihat secara jelas oleh seluruh peserta. Fasilitator yang menyajikan media agar selalu dalam posisi berhadapan dengan peserta diskusi dan tidak menghalangi pandangan peserta kepada media.

• Fasilitator memancing diskusi dengan mengajukan pertanyaan – pertanyaan yang berkisar pada tanggapan mengenai isi/pesan yang terkandung dalam media. Misalnya : apa yang dapat kita lihat dari poster ini ? Mengapa hal itu terjadi ? Apa akibat dari hal tersebut ? Bagaimana cara mencegah agar tidak terjadi ? Apakah hal seperti itu terjadi di kampung ini ?

Tips praktis

• Jangan sampai media dipergunakan alat ceramah atau penyuluhan sebab fungsi utama media adalah untuk membantu peserta terlibat dalam kegiatan belajar yang interaktif.

• Fasilitor sebaiknya berusaha agar setiap peserta dapat turut aktif dalam diskusi. Usahakan agar fasilitator tidak memonopoli pembicaraan, sehingga dapat mengemukakan tanggapan atau pendapatnya.


• Tanggapan atau jawaban dari peserta sebaiknya ditulis di papan tulis atau pada kertas plano ( ditempel di tembok ), karena peserta akan bisa mengingat dengan lebih baik apabila mereka melihat dan membaca daripada hanya mendengarkan saja. Selain itu hasil tersebut akan memancing peserta untuk lebih berpartisipasi dalam diskusi, karena usulan atau tanggapan mereka dianggap penting/diperhatikan .

Setelah diskusi

• Apabila kita menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis, akan lebih mudah memahaminya langsung dengan praktek daripada hanya membahas teori saja. Namun perlu diingat pula bahwa praktik yang dilakukan tanpa dasar – dasar atau teori yang kuat, bisa menjadi kacau. Untuk itu diskusikan terlebih dahulu teori dengan alat Bantu media, baru kemudian mempraktekan di lapangan. Sepakati waktu yang tepat untuk melakukan praktek ini.

• Lakukan evaluasi kegiatan setelah diskusi dan praktek di lapangan. Cobalah untuk mengkaji apakah peserta mempraktikan seperti yang telah didiskusikan dan yang disarankan dalam media ? mengapa demikian ?

• Hasil evaluasi dapat menjadi bahan pertimbangan bagi rencana belajar/kerja selanjutnya. Bisa jadi pada pertemuan berikutnya masih diperlukan media dalam bentuk dan jenis yang berbeda. Jika demikian, maka kita perlu membuat rencana lagi dan mengembangkan alat Bantu yang sesuai dengan kebutuhan.

TOT

Manajemen Pelatihan

by : mufid
makalah ini disampaikan di Bem center 12/04/2010
Mengapa pelatihan harus dikelola ?

Latihan, sebagaimana layaknya suatu program, melibatkan sejumlah sumberdaya (orang, biaya, barang/peralatan, dan sejumlah waktu) dalam proses pelaksanaannya. Semua hal tersebut diadakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, semua sumberdaya tersebut harus dikelola secara efisien dan efektif. Jika dikehendaki tercapainya tujuan latihan secara optimal.


Fungsi Fungsi Pokok

Secara klasik, fungsi – fungsi pokok manajemen dirumuskan sebagai 4-P (perencanaan, pengorganisasian,pelaksanaan dan pengendalian). Ini berarti bahwa dalam melakukan proses pelatihan kita harus merencanakan, mengorganisir, melaksanakan, dan mengendalikan proses dari suatu program latihan. Artinya kita harus bekerja sejak awal sebelum kegiatan latihan berlangsung, sampai sesudahnya.



1. Merencanakan



Menentukan Peserta

Hal yang paling pertama harus diidentifikasi adalah siapa peserta yang akan dilatih. Kita harus mengetahui terlebih dahulu siapa yang akan kita latih. Pada kelompok masyarakat sasaran apakah itu Relawan, BKM atau UP – UP. Karakteristik peserta, akan menentukan banyak hal seperti metodologi, media bantu, materi yang akan disampaikan dan sebagainya. Jumlah peserta harus diketahui pada tahap ini, untuk menentukan jumlah kelas, jumlah pemandu, perbanyakan materi, alat dan bahan yang harus disediakan serta biaya yang diperlukan.



Menentukan Tujuan Pelatihan

Setiap kegiatan pelatihan mempunyai tujuan dan output tertentu. Dalam sebuah pelatihan tujuan yang hendak dicapai menyangkut pengetahuan, sikap dan keterampilan dari peserta. Oleh karena itu sebelum pelatihan dimulai harus ditentukan terlebih dahulu tujuannya baik tujuan umum maupun tujuan khusus serta keluran yang diharapkan dari pelatihan yang akan diselenggarakan.


Identifikasi kebutuhan latihan (need assesment) calon peserta.


Materi yang disusun untuk kegiatan pelatihan haruslah sesuai dengan kebutuhan peserta, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Identifikasi kebutuhan dalam pelatihan yang sifatnya proyek/program tertentu, biasanya diarahkan kepada analisa kompetensi yang dibutuhkan oleh proyek/program dengan kompetensi yang sudah dimiliki oleh peserta. Untuk materi – materi konsep dan pendekatan proyek/program yang dianggap relatif baru bagi peserta, bisa langsung dianggap sebagai kebutuhan tanpa harus melalui proses survei mendalam. Untuk P2KP, hal – hal yang menyangkut paradigma permasalahan kemiskinan yang diyakini P2KP, konsep dan pendekatannya, secara otomatis materi – materi tersebut termuat dalam pelatihan untuk semua jajaran pelaku termasuk pelatihan Relawan, BKM dan UP – UP. Sedangkan materi – materi lainnya disesuaikan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh masing – masing disesuaikan dengan peran dan fungsinya. Artinya materi – materi tambahan untuk Relawan bisa sama dan bisa berbeda dengan BKM dan UP – UP. Sesuai dengan tugas dan fungsinya setiap UP (UPK, UPS dan UPL) juga akan mendapatkan materi tambahan yang berbeda.

Menyusun Kurikulum dan Modul Pelatihan

Berdasarkan hasil analisa kebutuhan, disusun kurikulum pelatihan yang menyangkut materi (topik bahasan) yang akan disampaikan, tujuan pembelajaran, metode penyampaian, media bantu, alat dan bahan dan waktu yang diperlukan (Jam pelajaran/JPL). Alur kurikulum/pelatihan disusun menurut urutan logis dari seluruh topik bahasan, sehingga dari awal sampai akhir pelatihan semua topik bahasan merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan sehingga urutannya tidak bisa dipertukarkan.

Kurikulum yang sudah disusun diterjemahkan ke dalam Modul pelatihan, yang merupakan susunan penyampaian pesan dari materi-materi yang diperlukan. Di dalam Modul biasanya termuat :

* Panduan Pemandu (PP) yang terdiri dari :
* Tujuan pembelajaran
* Kegiatan belajar/Metodologi
* Alat dan bahan
* Media bantu
* Lembar Kerja (LK)
* Media Bantu (MB)
* Bahan Bacaan (BB), sebagai acuan materi


Kurikulum dan modul untuk pelatihan Relawan, BKM dan UP – UP, sebagian dikembangkan terpusat di KMP berdasarkan identifikasi kebutuhan proyek yang dilaksanakan oleh KMP dan FGD dengan KMW dan Tim Fasilitator. Sedangkan untuk kebutuhan – kebutuhan yang sangat khusus kurikulum dan modul pelatihan dan atau coaching dilakukan oleh KMW dan Tim Fasilitator.


Menentukan tempat dan waktu.

Tempat pelatihan harus sesuai dengan kebutuhan, ruangan kelas harus mempertimbangkan jumlah peserta , metode yang digunakan (kalau menggunakan banyak permainan harus cukup luas, ada tempat cukup untuk diskusi kelompok dan sebagainya) dan mudah dijangkau dari tempat peserta.

Untuk pelatihan Relawan dan BKM, menggunakan sumberdaya setempat (di lokasi Kelurahan/Desa), bisa menggunakan sekolah, balai desa, kantor kelurahan dan lainnya yang memungkinkan. Untuk pelatihan UP – UP, beberapa UP dalam satu wilayah disatukan, jadi tempatnya bisa di Kecamatan atau di salah satu Kelurahan/Desa.. Terkecuali bagi UP – UP yang terpencil secara geografis, maka tempat pelatihan tersendiri di lokasi kelurahan/desanya. Untuk coaching karena sifatnya lebih informal, maka tempat bisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.

Waktu peltihan dan coaching yang berhubungan dengan siklus menyesuaikan dengan waktu siklus. Maksimal seminggu sebelum siklus dilaksanakan, Relawan harus diberi pembekalan terlebih dahulu. Sedangkan coaching – coaching yang sifatnya khusus waktunya disesuaikan dengan kebutuhan dan menjadi tugas rutin pendampingan fasilitator.



Penyusunan TOR

Rancangan pelatihan yang akan dilaksanakan disusun ke dalam TOR (Term Of Reference). TOR merupakan alur dan kerangka logis mengapa pelatihan diperlukan dan bagaimana akan dilaksanakan, secara garis besar TOR memuat :



* Latar belakang ; merupakan dasar pemikiran diselenggarakannya pelatihan
* Tujuan umum; apa yang ingin dicapai dalam pelatihan
* Keluaran yang diharapkan (output); apa yang bisa didapat setelah pelatihan terutama yang berhubungan dengan proyek/program
* Sasaran peserta; siapa calon peserta pelatihan
* Metodologi dan rancangan kegiatan ; pendekatan yang dipakai (dalam P2KP memakain pendekatan participatory andragogy), alur kegiatan selama pelatihan dan materi/topik bahasan yang akan disampaikan.
* Pemandu dan narasumber; siapa saja pemandu yang akan terlibat dan narasumber dari luar apabila diperlukan.
* Pengorganisasian; siapa yang menjadi panitia pengarah dan panitia pelaksana dan bagaimana pelatihan akan diorganisir.
* Penyelenggara; siapa yang bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan
* Waktu dan tempat
* Pengendalian ; bagaimana mengendalikan pelatihan muali dari proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pasca pelatihan
* Pembiayaan ; sumberdana pelatihan di tingkat masyarakat merupakan sharing antara pihak proyek serta masyarakat dan atau pemerintah kelurahan/desa setempat. Dari pihak P2KP dana diambil dari dana fix cost yang dititipkan kepada Tim Fasilitator. Karena sifat dana ini titipan maka Tim Fasilitator tidak berhak menggunakan dana ini semena – mena, akan tetapi harus dikelola secara transparan dengan masyarakat. Kontribusi masyarakat dan atau pemerintah kelurahan/desa bisa berupa tempat, konsumsi, tenaga atau bahkan berupa uang.
* Lampiran : kurikulum pelatihan, jadual harian, lembar evaluasi harian, pre – post test, dan lainnya sesuai kebutuhan .


Semua TOR pelatihan dan coaching di tingkat kelurahan/desa disusun oleh Tim Fasilitator untuk diperiksa dan mendapat persetujuan dari KMW (Korkot dan TA Pelatihan).


2. Mengorganisir Pelatihan



* Koordinasi dengan TA Pelatihan KMW dan Korkot, membahas rancangan pelatihan , rincian pekerjaan yang harus dilakukan, rincian kebutuhan alat dan bahan termasuk modul, perbanyakan materi , sitem pengendalian dan format yang dibutuhkan , biaya dan sebagainya
* Pembentukan panitia pengarah dan panitia pelaksana; Panitia pengarah adalah orang – orang yang memahami substansi materi bisa dari TL KMW, TA, Korkot maupun Tim Fasilitator sendiri. Panitia pelaksana adalah orang – orang yang akan mengorganisir pelaksanaan pelatihan , sebaiknya masyarakat (relawan) dan kelurahan dilibatkan dalam kepanitiaan. Pembagian tugas sampai rincian pekerjaan yang harus dilakukan oleh masing – masing orang dan jadual kerja , persiapan teknis administratif seperti penggandaan bahan dan lainnya (lihat lampiran).
* Menyusun jadual harian , jadual pelatihan untuk di tingkat masyarakat disesuaikan dengan kondisi dan ketersediaan waktu masyarakat. Biasanya di tingkat masyarakat sulit untuk pelatihan dengan jadual waktu lebih dari 2 hari berturut – turut. Jadual pelatihan dimungkinkan untuk tidak berturut – turut, akan tetapi harus dipastikan tetap memenuhi satuan Jam Pelajaran yang sudah ditetapkan dan tujuan pembelajaran dijamin bisa tercapai.
* Membentuk Tim Pemandu dan narasumber ; Tim Pemandu adalah Fasilitator kelurahan dan bisa dibantu oleh KMW apabila dibutuhkan. Untuk menyusun Tim Pemandu perlu dipetakan kekuatan dan kelemahan masing – masing orang baik dalam kemampuan memandu maupun pemahaman substansi, sehingga pembagian tugas memandu akan lebih efektif. Apabila diperlukan bisa diundang narasumber dari luar KMW, misalnya dari pemerintah daerah setempat atau lainnya. Sebelum pelaksanaan harus dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan narasumber mengenai materi apa yang diharapakan dari mereka dan arah pelatihan secara garis besar sehingga kerangka logis pelatihan tetap terjaga.
* Menyusun pembagian kelas; Jumlah peserta yang efektif dalam satu kelas adalah tidak lebih dari 30 orang, apabila peserta lebih dari 30 orang sebaiknya di bagi ke dalam beberapa kelas.
* Technical meeting; Sebelum pelaksanaan pelatihan, akan dilaksanakan technical meeting selama satu hari, dengan dihadiri oleh Tim Pengarah, Panitia Pelaksana, Pemandu dan Narasumber.



3. Melaksanakan

Sudah merupakan fungsi langsung, dalam proses kegiatan latihan yang sesungguhnya ,yakni memfasilitasi proses acara kegiatan latihan bagi para peserta. Pada tahapan fungsi inilah sesungguhnya kita secara bertahap mulai bisa menyerahkan sebagian besar tanggungjawab pelaksanaan latihan kepada para peserta sendiri (misalnya saja pengaturan tata tertib latihan beserta pelaksanaan dan pengendaliannya, pengaturan ruang latihan, dan berbagai pekerjaan teknis lainnya).

Keseluruhan proses pelatihan dicatat untuk dasar pelaporan dan dokumentasi, sehingga dalam pelaksanaannya fungsi pencatat proses menjadi penting.



4. Mengendalikan

Merupakan fungsi langsung kita dalam proses acara latihan yang sesungguhnya, yaitu :

Mengamati jalannya semua proses kegiatan latihan, apakah sudah sesuai dengan apa yang dirancang sebelumnya, atau apakah sudah mampu memfasilitasi proses belajar peserta dari pengalamannya sendiri.

Merubah proses, bentuk kegiatan, atau media yang digunakan jika ada yang menyimpang dari rancangan atau ternyata tidak mampu memfasilitasi proses belajar peserta dari pengalaman mereka sendiri.



Pengendalian pelatihan terdiri dari :

* Pengendalian pada tahap perencanaan dilaksanakan oleh KMW melalui TOR dari Tim Fasilitator dan oleh KMP dan RM melalui TOR dari KMW.
* Pengendalian pada tahap pelaksanaan, dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut :

o Korkot melakukan monitoring dan supervisi untuk 1 kelurahan/desa pertama dalam satu Tim, dan 1 kelurahan/desa random setelah berjalan 50%

o KMW, melakukan monitoring dan supervise di 2 kelurahan/desa pertama di setiap korkot dan 1 kelurahan random untuk setiap Korkot setelah berjalan 50%

o RM, melakukan monitoring dan supervise di 2 kelurahan/desa pertama di setiap KMW dan 1 kelurahan random setelah berjalan 50%.



· Evaluasi harian di kelas , dilakukan secara terbuka dengan melaksanakan review harian dan secara tertutup dengan pengisian format evaluasi oleh peserta (contoh format terlampir).

· Pre – post test untuk mengukur efektifitas pelatihan terhadap peningkatan pemahaman peserta. Hasil pre test harus langsung diolah (dianalisa) untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman peserta terhadap materi yang akan dibahas. Peta pemahaman peserta dapat menjadi acuan untuk strategi peningkatan pemahaman mereka dalam proses pelatihan. Hasil pre test pada saat akhir pelatihan dibandingkan dengan hasil post test, untuk menilai seberapa jauh terjadi peningkatan pemahaman dan apakah tujuan pembelajaran tercapai.

· Evaluasi harian Tim Pemandu; pembahasan pelaksanaan dan capaian kegiatan dalam satu hari oleh seluruh Tim Pemandu termasuk hasil evaluasi harian yang dilakukan di kelas. Hasil evaluasi akan menjadi umpan balik bagi pelaksanaan selanjutnya.


5. Pelaporan dan Dokumentasi

Seluruh proses pelatihan harus dilaporkan kepada pihak proyek melalui KMW dan juga menjadi dokumentasi baik bagi Tim Faskel maupun masyarakat.

managemen strategik


BAB I
PENDAHULUAN
 by: Mufidz
A.          Latar belakang
            Berdasarkan perang dunia II kita melihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Salah satunya adalah negara Indonesia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO pada tahun 1949 maka “ mungkin yang pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua system organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung – pendukung yang berpengaruh”.
            Pada dasarnya demokrasi ada berbagai macam, sedangkan negara indonesia menganut demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional adalah bahwa pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindang sewenang – wenang terhadap warganya. Dengan pembatasan kekuasaan pemerintah tercantum pada konstitusi; maka dari itu sering disebut “ pemerintah berdasaarkan konstitusi”. (constitudional government). Jadi constitusional government sama dengan limited government atau restrained government.
            Perkembangan demokrasi konstitusional pada abad 19 dengan Negara Hukum Klasik menuju reformasi demokrasi konstitusional pada abad 20 dengan Rule Of Low yang Dinamis.  Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang – surutnya. Dengan berbagai masalah pokok yang dihadapi ialah bagian dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya. Pada dasarnya masalah ini berkisar pada menyusun system politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat supaya menghindarkan timbulnya diktatur, apakah diktatur itu bersifat perorangan, partai atau militer.
            Dalam pandangan para pengamat, reformasi perlu dilakukan karena kekeliruan – kekeliruan yang telah dilakukan mantan presiden Soeharto. Dalam kasus lain Indonesia semakin terpuruk dengan adanya KKN yang semakin meluas.
B.           Rumusan Masalah
Dalam makalah ini rumusan masalahnya adalah untuk mengetahui Reformasi Aparatur Negara Untuk Melaksanakan Pemerintahan Demokratis Dan Ekonomi Global Era Sekarang ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.          Reformasi Aparatur Negara
Profesor Gerald Caiden, salah seorang pelopor studi Reformasi Administrasi dalam buku “Administrative Reform Comes of Age” terbitan tahun 1991, mengungkapkan ironi yang terjadi di banyak negara, negara maju mau pun negara berkembang, bahwa “... reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi administrasi...” Barulah setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat buruk pemerintah menyadari perlunya reformasi administrasi. Karena itu Prof Caiden mengingatkan “By the time it was realized that defective administrative system were a serious obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and hihger priority should be to putting them right, theprevailing gales were fast blowing into huricanes.
Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memberikan perhatian besar pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu, tetapi kedalaman dan keluasan reformasi aparatur negara belum menyentuh bagianbagian yang paling mendasar dalam sistem administrasi.
Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk menciptakan system administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan globalisasi perdagangan tidak bisa tidak harus bersifat komprehensif dan mencakup, antara lain, penetapan peraturan dasar tentang sistem pemerintahan negara yang sesuai dengan kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah khususnya peningkatan birokrasi pemerintahan khususnya sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya pembera-ntasan korupsi. Dalam waktu yang singkat ini tidak mungkin seaya menyentuh semua dimensi reformasi aparatur negara tersebut. Presentasi saya ini akan lebih menfokuskan diri pada reformasi birokrasi, dan secara lebih khusus reformasi sistem kepegawaian.

B.           Peraturan dasar tentang pemerintahan negara
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada Pemerintahan Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden Abdurahman Wachid. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabaran karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak terencana, seperti mengadakan 5 jabatan Sekretaris yang setingkat pada Sekretariat Negara, resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah daerah, adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para menteri dari kalangan profesional yang memepunyai reputasi tinggi dibawah pimpinan Presiden Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena kepercayaan rakyat mulai menguat kembali.
Sayangnya, pada pemerintahan KIB kinerja pemerintah muncul kembali karena didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan faktor penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang memberikan landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang memiliki kapasitas tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.
Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja KIB yang dilakukan oleh berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada berbagai fora, dan saya rasa penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambara tentang pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor kedua yang sebenarnya merupakan akar permasalahan atas rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara mendasar sistem pemerintahan negara menjadi sistem presidensial, padahal oleh para founding fathers sistem tersebut dipandang kurang “adekuat” sebagai sistem pemerintahan Negara Bangsa4 yang berlandaskan faham Kekeluargaan5 untuk menciptakan keadilan sosial6.
Kalau kita ikuti pembahasan pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945 waktu menyusun sistem pemerintahan untuk negara Republik Indonesia, dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 18 – 20 Agustus 1945, sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun “hilang”, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara Bangsa Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK yang mewakili Yogyakarta, disebut “sistem sendiri”. Dalam literatur ilmu politik sistem
pemerintahan tersebut ditahbiskan pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem pemerintahan semi-presidensia. Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan system parlementer yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, karena yang memegang portofolio penting dalam eksekutif adalah anggota legislatif, sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-balance yang merupakan persyarakat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Para penyusun konstitusi tidak memilih sistem presidensial karena memperkirakan pada system tersebut terbuka lebar peluang terjadinya “political gridlocks” apabila presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga legislatif adalah partai mayoritas. Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan legislatif pada tahun pertama pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh fenomena kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para pendahulu kita. Political gridlock itulah yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem parlementer semu Presiden bukan saja menghadapi kendala dari DPR, tetapi juga karena para menteri dalam kabinetnya lebih loyal kepada politik partai masing-masing.
Selain selalu harus mengahdapi ancaman instabilitas politik, Pemerintah KIB yang terdiri atas Presiden yang berasal dari partai minoritas dan Wakil Presiden yang seorang Ketua Umum salah satu Partai mayoritas, masih harus menghadapi “tekanan” masyarakat internasional yang sedang mengalami pergeseran pandangan tentang misi dan sistem pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang.
Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui buku mereka “Reinventing Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku berjudul provokatif “Banishing Bureaucracy: the Five Stages of Reinventing Government” (1998), berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga multilateral mau pun bilateral dengan cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya bagian dari paket program pengembangan good governance, yang secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean government. Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembagalembaga internasional di Indonesia – khususnya privatisasi dan debirokratisasi – juga tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan Pemerintah Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil, tidak mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata 47.7 persen. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai, Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia mendapat desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Dari perbandingan tersebit kita dapat simpulkan bahwa arah kebijakan reformasi kelembagaan atau reformasi aparatur negara di negara-negara maju yang tujuannya adalah memperkecil peranan negara dalam pembanguan ekonomi memang tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Kalau arah kebijakan seperti itu tetap dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap Indonesia, maka dapat dipastikan entrofi pemerintahan akan semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi negara yang gagal yang tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas untuk mencapai cita-cita bangsa.

C.          Reformasi Birokrasi
            Secara harfiyah reformasi adalah berasal dari bahasa latin (Re) kembali Formare bearti membentuk. Sehingga reformasi dapat didefinisikan sebagai “usaha untuk membentuk kembali”. Reformasi politik yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan yang besar pada penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya sistem pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah sistem kepegawaian meritokratik.
Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawai Negara yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara karena dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent civil service commission, yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih mampu menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian meritokratik.
Sebagai salah seorang penyusun yang terlibat langsung dalam penyusunan UU No. 43 tahun 1999, saya dapat bercerita sedikit tentang kerangka pemikiran yang mendasari pengusulan Komisi Kepegawaian tersebut. Sekitar tahun 1998-1999 para perumus memperkirakan setelah Pemilu 1999 akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian Indonesia. Jumlah partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastic dan mencapai lebih dari 100 partai, system pemerintahan akan mengalami perubahan yang sangat fundamental, dari system dominasi satu partai yang relatif stabil menjadi sistem multi-partai yang relatif kurang stabil. Seiiring dengan perubahan sistem pemerintahan, pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang sangat mendasar pada hubungan pusat dan daerah.
Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem kepegawaian yang lebih terstandardisasi, lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralistis dalam implementasinya. Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas yang baru ini sebagian besar beban operasional kepegawaian harus didelegasikan kepada instansi operasional, baik departemen, lembaga non departemen mau pun pemeriantah daerah. Otoritas kepegawaian nasional seharusnya lebih memusatkan pada perumusan standar dan norma kepegawaian nasional, mengawasi pelaksanaan dari norma dan standar nasional kepegawaian, termasuk menyusun kebijakan penggajian, kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan lebih bersifat regulating daripada implementing.
Otoritas kepegawaian untuk melaksanakan fungsi dan tugas regulasi tersebut tidak akan berjalan baik dalam wadah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang konvensional, yang dipimpin oleh seorang kepala seperti yang kita kenal. Pada suatu sistem pemerintahan yang demokratis, otoritas kepegawaian sebaiknya dilaksanakan oleh LPND yang dipimpin oleh Komisi (Commission). Dalam text-book administrasi, struktur seperti itu disebut multi-headed board.
Sebenarnya di dalam sistem pemerintahan Indonesia bentuk semacam itu sudah mulai
dikenal, misalnya, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), Komisi HAM, dan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam pemerintahan. Demikianlah lebih kurang kerangka fikir para perumus pada waktu mengusulkan Komisi Kepegawaian. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural adjustment dalam
bidang kepegawaian.
Kalau Pemerintah Indonesia dapat menerima usulan dari para peserta Diklatpim-LAN tentang kelembagaan untuk menjalankan fungsi reformasi administrasi dan kepegawaian, ada dua pertanyaan terkait yang perlu dicari jawabannya. Yang pertama, perlukan Komisi independen tersebut dipimpin langsung oleh Presiden? Yang kedua, apakah kementerian merupakan format organisasi yang tepat untuk menjalankan fungsi koordinatif reformasi administrasi dan kepegawaian? Menurut penulis, Komisi Kepegawaian atau Civil Service Commission yang terdiri dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden, tak perlu khawatir dengan bentuk komisi independen.
Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
D.          Pemberantasan KKN
            Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian terpenting reformasi tata pemrintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi independen, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, komisi independen dan lembaga judikatif mungkin dapat menjadi penunjuk betapa serius pemerintah berusaha memberantas korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini dilingkungan masyarakat internasional.
Namun, walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukup komprensif telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan pengawasan masyarakat (community corruption watch), dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan tindak korupsi, harus difahami bahwa kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pemberantasan tindak korupsi perlu waktu. Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem hukum, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem administrasi yang tidak memungkinkan terjadinya praktek korupsi.
Gerakan pemberantan KKN yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada tahun pertama ini memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang sebelumnya hampir padam. Namun sayangnya gebrakan-gebrakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang relatif kecil dan bahkan dapat dipandang sebagai kasus “membakar rumah untuk menangkap tikus”, seperti yang terjadi pada kasus KPU, penangkapan para anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat, Gubernur suatu propinsi di Sumatra, beberapa unsure pimpinan bank BUMN, dan kasus DAU. Memang semua pelaku penyimpangan tersebut perlu ditindak, tetapi seharusnya pemerintah seharusnya lebih mempriritaskan penindakan terhadap para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran.
Yang lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat praktek korupsi.

E.           Langkah maju reformasi birokrasi   
            Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta system ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
Karena itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan system ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong royong atau kekeluargaan – seharusnhya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem tersebut.
Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah selama ini, terutama selama 1 tahun Pemerintahan KIB belum menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan. Akibatnya, reformasi kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semkian adekuat untuk melaksanakan pemerintahan buat mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi barutimbul yaitu ancama entrofi pemerntahan nampak semakin nyata dan semakin mengancam kelangsungan pemerintahan KIB.
Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu dilakukan overhaul besar-besar pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian baru termasuk penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih rasional, serta penerapan aplikasi tekonologi informasi modern dalam manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Untuk mencapai kesejahteraan bangsa dan negara, serta pembebasan bangsa terhadap budaya KKN maka pasti tidak luput dari reformasi dalam system tata pemerintahan. Dalam hal ini system tata pemerintahan Indonesia masih begitu lemah atau masih banyak kekurangan. Sebagaimana pendapat Hungtinton “
1.      Kurangnya keberhasilan reformasi Indonesia karena tiadanya talenta politik yang mendukungnya, para tokoh reformis berada dalam area terpecah belah. Diantaranya para mahasiswa yang menjadi tulang punggung reformasi, dan juga para tokoh pada saat itu Gus Dur, Megawati, dan Amin rais. Tetapi mereka kalah dalam pemilu tahun 2004.
2.      Ketiadaan strategi yang digunakan dalam melakukan reformasi.
             

B.     Saran
Dengan adanya system demokrasi di era reformasi di Indonesia diharapkan mampu menjadikan alat sebagai  untuk menata kembali tatanan pemerintah yang adil dan merata sehingga terciptanya bangsa yang berkembang dan maju.
Mahasiswa sebagai tulang punggung reformasi diharapkan komitmen dan selalu terus memantau perkembangan para tokoh kita yang ada diparlemen. Sehingga mahasiswa bisa menjadi power control keseimbangan tata pemerintahan dinegara Indonesia.












DAFTAR PUSTAKA
Mirian budiarjo,dkk. 2004. dasar – dasar ilmu politik. Jakarta : Gramedia Pustaka.
Budi Winarno. 2007. System politik Indonesia era reformasi. Yogja : Buku Kita.
Ananda Koesoema, 2004. Sejarah Lahirnya UUD 1945. Monograf, Pusat Studi Hukum
Ketatanegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarkat Madani “Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani”. Jakarta, 1998.
www.reformasi aparatur negara.org.